Sang ayah segera mengazani di telinga kanan dan mengiqamahkan di telinga kiri pada anaknya yang baru lahir. Pemberian adzan dan iqamah baru lahir ini salah satu tujuannya agar kalimat yang pertama kali didengar sang bayi adalah kalimat thayyibah dan dijauhkan dari segala gangguan setan yang terkutuk.
Sebagian ulama menganggap sunnah membacakan adzan dan iqamah untuk bayi yang baru lahir. Ulama yang berpendapat seperti ini diantaranya adalah Hasan al-Bashri, Umar bin Abdul ‘Aziz, ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali. Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, ulama madzhab Hanbali, termasuk ulama yang menyunnahkan pembacaan adzan pada bayi yang baru lahir ini.
Ulama kontemporer, Wahbah az-Zuhaily juga menyunnahkan hal ini dalam kitab al-Fiqh al-Islami Wa adillatuhu, “Disukai bagi orang tua untuk mengadzani di telinga kanan bayi yang baru dilahirkan dan diiqamati seperti iqamat untuk shalat di telinga kirinya” (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu : 4/288).
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnahnya juga menyunnahkan dibacakan adzan ini, “Termasuk sunnah dilakukan, mengadzani telinga kanan dan mengiqamahi telinga kiri bayi yang baru dilahirkan, supaya yang pertama kali didengar telinga anak adalah asma Allah SWT”.
Imam an-Nawawi, tokoh ulama madzhab asy-Syafi’i dalam al-Majmu’ pada juz 8/443 menulis, “Berkata sekelompok ulama dari sahahabat-sahabat kami (ulama Syafi’iyyah), disukai untuk diadzani di telinga kanan dan diiqamahi di telinga kiri bayi yang baru dilahirkan”
Namun sebagian ulama yang lain tidak menyunnahkan adzan dan iqamat bagi bayi yang baru lahir bahkan menganggapnya sebagai bid’ah. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Malik bin Anas. “Imam Malik mengingkari perbuatan mengadzani di telinga bayi ketika dilahirkan” (Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar asy-Syaikh Khalil : 3/321).
Dalam kitab Mausu’ah Fiqh al-Ibadat dijelaskan sikap Imam Malik, “Imam Malik benci perkara-perkara ini (adzan selain panggilan untuk shalat) dan menganggapnya sebagai bid’ah” (Mausu’ah Fiqh al-Ibadat : 7/7).
Para ulama yang yang menganggap perbuatan ini sebagai bid’ah karena dalil atau hadits yang memerintahkan adzan untuk bayi yang baru lahir tidak kuat, alias hadits dhaif. Oleh karena haditsnya lemah, maka tidak bisa dipakai sebagai landasan untuk menyunnahkan adzan untuk bayi yang baru lahir.
Jadi, aktivitas memperdengarkan adzan dan iqamah untuk bayi yang baru lahir, dari segi hukum fikih termasuk amal yang diperdebatkan para ulama. Walaupun dari segi manfaat bisa diterima, bahwa memperdengarkan kalimat tauhid bagi bayi yang baru lahir merupakan bagian dari pendidikan keimanan untuk anak.
3. Tahnik
Kita perhatikan tindakan yang dilakukan Rasulullah saw terhadap bayi yang baru saja lahir, sebagaimana penuturan istri beliau, Aisyah ra:
“Apabila didatangkan bayi yang baru lahir ke hadapan Rasulullah saw, maka beliau mendoakan barakah kepadanya dan mentahniknya” (HR. Imam Bukhari no. 5468 dan Imam Muslim no. 2147).