Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Smart Parenting: Menjadi Sahabat bagi Anak

12 Februari 2015   13:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:21 3405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_396377" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi : www.islamiclife.com"][/caption]

Pada serial pembahasan istri salihah, saya telah mem-posting beberapa karakter istri salihah, di antaranya adalah mendidik anak dengan sepenuh hati. Mengingat pentingnya tema ini, saya ingin memberikan tambahan catatan, walaupun berupa catatan yang berserak-serakan. Hal yang ingin saya tambahkan tentang peran istri dalam mendidik anak, terutama corak interaksi ibu dengan anak yang semestinya terjadi dengan timgkat kedalaman dan penghayatan yang istimewa. Tidak semata-mata bersifat formal antara orang tua dengan anak, namun lebih dari itu.

Corak interaksi orang tua dengan anak sangat menentukan sejauh mana efektivitas penanaman nilai-nilai dan pendidikan anak yang diterapkan di dalam ruang lingkup keluarga. Banyak orang tua yang memosisikan diri “hanya” sebagai orang tua, yang memerintah, melarang, menyuruh, mendidik, dan membiayai kehidupan anak hingga dewasa. Mereka berinteraksi dengan anak dalam corak “orang tua dengan anak”, sehingga yang berlaku semata-mata hak dan kewajiban.

Banyak orang tua yang sibuk bekerja mencari penghasilan yang layak demi anak-anak, namun mereka lupa bahwa anak bukan hanya memerlukan sentuhan pendidikan formal yang bertaraf internasional dan berbiaya mahal. Mereka lupa bahwa anak bukan hanya memerlukan pemenuhan gadget canggih nan mahal dan paket internet tanpa batas kuota. Mereka lupa bahwa anak bukan hanya memerlukan pemenuhan uang kuliner dan cinema. Sesungguhnyalah anak-anak sangat memerlukan perhatian, cinta, dan kasih sayang orang tua.

Anak-anak tidak hanya memerlukan perintah dan larangan, namun mereka ingin mendapatkan tempat curhat. Mereka tidak hanya memerlukan figur orang tua, namun mereka mandambakan sahabat. Ya, sahabat. Yang mau mendengarkan keluh kesahnya, yang mau mendengarkan curhatnya, yang betah mendengarkan keinginannya. Sesuatu yang murah dan tidak berbiaya, namun justru paling sulit diwujudkan orang tua.

Anak Perlu Sahabat

Setiap manusia memerlukan sahabat dalam kehidupannya. Bukan hanya orang dewasa, anak-anak juga memerlukan sahabat. Bukan hanya anak-anak yang sehat dan normal, bahkan pada anak-anak autis sekalipun, ternyata mereka lebih responsif terhadap orang yang bersikap sebagai sahabat. Hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu memerlukan orang lain, memerlukan lingkungan untuk mengekspresikan kebutuhan sosial dalam dirinya.

Salah satu musuh terbesar manusia adalah rasa kesepian. Manusia tidak akan tahan hidup sendirian, mengisolasi diri, tidak memiliki lingkungan pergaulan, berdiam diri dalam waktu lama. Perasaan kesepian secara pasti akan mempercepat munculnya masalah kesehatan dan bahkan mempercepat kematian. Sebuah survei yang diberitakan kantor Berita Agence France Presse (AFP) di Tokyo tahun 2012 menunjukkan bahwa lebih dari seperempat warga Jepang berusia 20-an berpikir untuk mengakhiri hidup. Survei menemukan 28,4% responden di usia 20-an ingin bunuh diri. Ini merupakan angka tertinggi dari segala tingkatan usia. Sebab terbesar dari keinginan bunuh diri adalah rasa kesepian.

Karena manusia adalah makhluk sosial, maka memiliki sahabat untuk mengobrol, berdiskusi dan berkomunikasi menjadi kebutuhan yang mendasar. Sahabat adalah orang yang bisa diajak untuk melawan kesepian. Manusia senantiasa memerlukan orang lain untuk menerima dirinya apa adanya, saling memberi, saling mengerti, saling berbagi, saling mengisi dan juga saling melengkapi. Dalam sebuah persahabatan selalu ada kepercayaan, kebersamaan, kepedulian dan kedekatan hubungan, dengan tetap menerima adanya kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Ketika anak-anak masih kecil, mereka memerlukan sahabat untuk menemani bermain, menonton acara kesayangan di televisi, berbagi cerita tentang superhero, atau cerita pengalaman seharian di rumah atau di sekolah. Sahabat bisa membuat anak lebih terbuka karena posisi mereka sejajar, bisa saling mengisi, lebih betah dan asyik sekalipun sesekali diselingi pertengkaran. Karena itu, kehadiran sahabat sangat penting bagi anak karena membuat mereka bersedia saling belajar dan selalu diliputi rasa senang.

Cara Menjadi Sahabat bagi Anak

Tentu saja, mendidik anak harus dilakukan oleh kedua orang tua secara bersama-sama. Suami dan istri harus bekerja sama dalam membimbing, mendidik, dan mengarahkan anak-anak sampai mereka dewasa. Namun karena tema sentral bahasan kita adalah tentang istri salihah, maka saya lebih fokus menyampaikan peran perempuan sebagai ibu dalam membersamai tumbuh kembang anaknya. Tanpa bermaksud mengesampingkan peran suami atau ayah atau laki-laki dalam pola pengasuhan dan pendidikan anak.

Hendaknya para ibu selalu berusaha menempatkan diri sebagai sahabat, partner, atau mitra bagi anak, agar lebih akrab, lebih dekat dan lebih memahami keinginan dan harapan anak. Para ibu tidak hanya memosisikan diri sebagai orang tua, karena posisi itu terlalu sakral bagi anak-anak dan membuat ada sekat dalam berinteraksi bersama mereka. Posisi sebagai sahabat akan dirasakan sebagai hubungan yang tidak formal, tidak sakral, dan lebih nyaman bagi anak-anak.

Bagaimana cara menjadi sahabat bagi anak?

Pertama, Menjadi Sahabat bagi Suami

Sebelum menjadi sahabat bagi anak, hal pertama yang harus dilakukan para istri adalah menjadi sahabat bagi suami. Bersahabat dengan suami akan mempermudah menyamakan visi, menyatukan persepsi, juga mendiskusikan serta mencari solusi atas berbagai problematika dalam mendidik anak. Jika para istri tidak dapat bersahabat baik dengan suami, bagaimana akan bisa menjadi sahabat bagi anak? Maka, suami-istri harus menjadi sahabat yang saling menguatkan dalam kebaikan, agar mereka berdua bisa menjadi sahabat bagi anak-anak.

Dalam kehidupan berumah tangga, laki-laki dan perempuan bukan hanya “pasangan suami-istri” yang resmi dan sah, mereka juga sepasang kekasih, dan mereka adalah sahabat yang sangat istimewa satu bagi yang lainnya. Hal ini sudah saya bahas dua kali berturutan di Kompasiana pada tanggal 5 dan 6 Februari 2015 yang lalu, yang intinya agar suami dan istri bisa saling menjadi sahabat setia dalam suka dan duka. Dengan modal persahabatan suami da istri, akan membuat mereka kompak dalam mendidik anak.

Mereka berdua mudah menemukan kesamaan pandangan dalam mengarahkan anak, dan mudah pula mencari jalan keluar dalam setiap menghadapi problematika pendidikan anak. Mereka satu visi, satu persepsi, satu orientasi, satu tujuan dalam mendidik anak, sehingga anak tidak bingung akibat perbedaan orang tua. Anak semakin mantap dalam melangkah menggapai cita-cita, karena melihat kesungguhan dan kekompakan orang tua dalam membersamai mereka.

Kedua, Terimalah Anak dengan Segala Potensinya

Sebagai sahabat, hendaknya para istri mampu menerima anak dengan sepenuh hati. Mereka adalah buah hati Anda, bagaimanapun kondisi fisiknya. Penerimaan Anda kepada mereka, akan menjadi kunci keberhasilannya. Anak yang merasa diterima oleh orang tua, akan tumbuh dalam kondisi nyaman dan penuh percaya diri. Sebaliknya, anak yang merasa tertolak atau tidak diterima oleh kedua orang tua, akan tumbuh dalam suasana yang tidak nyaman dan dipenuhi penyesalan bahkan pemberontakan.

Saat anak merasa dirinya selalu dipermasalahkan oleh orang tuanya, yang terjadi adalah pemberontakan. Seorang mahasiswa melarikan diri dari rumah orang tuanya untuk hidup menggelandang di kota yang sama dengan tempat tinggal orang tua. Ia tidak betah tinggal di rumah, karena sejak masih sekolah SD selalu mendapat kecaman dari ayahnya. Ia memang bukan tergolong anak yang cerdas secara akademis. Ini yang membuat sang ayah sering merasa malu atas nilai raportnya saat sekolah di SD, SMP, dan SMA. Ternyata sampai kuliah pun, indeks prestasinya tidak membaik.

Setiap kali menerima raport, ada kalimat menyakitkan yang konsisten diucapkan oleh ayahnya, yaitu “memalukan” atau “malu-maluin”. Hal itu ternyata berlanjut sampai saat dirinya sudah kuliah, setiap menerima hasil studi yang tidak pernah bagus, ayahnya selalu berkomentar, “Kamu itu malu-maluin orang tua.” Ia merasa terluka dan tidak diterima. Tumbuh perasaan tidak bermanfaat dalam dirinya, hingga setelah kuliah ia memberanikan diri untuk menampakkan pemberontakan dengan jalan melarikan diri dari rumah dan hidup menggelandang bersama anak-anak jalanan lainnya.

Saat ditanya, apa tujuannya hidup menggelandang di kota yang sama dengan orang tuanya, ia menjawab dengan tegas, “Dari dulu ayahku selalu mengatakan aku memalukan. Sekarang saya ingin tunjukkan kepada Ayah bahwa saya benar-benar memalukan baginya. Biar orang pada mengerti, bahwa bapak yang tokoh masyarakat itu, anaknya sangat memalukan, karena hidup di jalan bersama para gelandangan.”

Jika situasinya sudah seperti ini, akan lebih susah untuk menjadi sahabat bagi diri anak. Jangan menunggu anak memberontak baru berusaha menjadi sahabat bagi anak. Jangan menunggu anak melarikan diri dari rumah, baru bisa menerima kondisi anak apa adanya. Jangan menunggu anak melawan orang tua, baru menyadari kesalahan pola asuh selama ini. Jadilah sahabat bagi anak, dengan menerima apa pun kondisi mereka.

Jika kondisi mereka belum baik, sikap penerimaan orang tua itu akan membuat anak merasa nyaman dan lebih mudah untuk diarahkan. Para ibu hendaknya menunjukkan siap penerimaan sepenuhnya atas kondisi anak, yang membuat anak merasa nyaman berada di rumah bersama keluarga. Kalau anak merasa tidak diterima di rumah, ia akan kabur dari rumah dan kan semakin sulit diajak kembali kepada kebaikan.

Ketiga, Jadilah Pendengar yang Baik untuk Anak

Hendaknya para ibu bisa telaten dan sabar untuk menjadi pendengar yang baik untuk anak-anak, sehingga mereka merasa dihargai dan dicintai. Menjadi sahabat yang baik, artinya selalu siap mendengarkan keluhan dan cerita anak-anak. Berikan respon yang positif saat anak-anak bercerita atau tengah curhat, karena dengan respon itu membuat mereka mengerti bahwa Anda tengah memperhatikan pembicaraannya. Ajukan berbagai pertanyaan ringan seputar ceritanya, namun jangan sampai membuat mereka merasa diinterogasi dan tidak nyaman.

Berikan pendapat yang bisa dimengerti sebagai anak-anak, tetapi jangan meluapkan emosi dan kemarahan saat Anda merasa mereka telah melakukan kesalahan. Luruskan kesalahan mereka dengan cara lembut dan bijak, cobalah menggali pendapat mereka dengan berbagai pertanyaan yang menggugah. Apalagi pada anak remaja, pada dasarnya mereka tidak suka didikte dan digurui. Mereka ingin belajar, mereka mau berubah, namun mereka juga ingin diakui hak-haknya untuk memiliki masa muda yang indah.

Sebagai sahabat, semestinya para ibu pandai mengarahkan anak-anak agar tetap berada di jalan yang lurus, tidak menyimpang, tidak larut dalam pergaulan bebas, tidak terlibat dalam berbagai penyelewengan moral. Tanpa harus mendikte dan menggurui, Anda bisa membimbing mereka menuju kebaikan budi pekerti.

Keempat, Libatkan Diri dalam Kegiatan Anak

Menjadi sahabat artinya para ibu harus selalu berupaya memahami apa yang disukai dan tidak disukai anak-anak. Para ibu harus mampu menyelami dunia anak-anak. Dengan menemani dan mendampingi anak bermain dan belajar, Anda akan paham kebiasaan serta karakter anak. Cermati apa yang mereka lakukan saat bermain, menonton, atau belajar. Perhatikan kreativitasnya dari aktivitas keseharian baik di rumah maupun di sekolah.

Dengan melakukan kegiatan bersama anak secara telaten dan sabar, para ibu dapat memahami kelebihan dan kekurangan anak, memahami kondisi anak, mengerti situasi hati anak, mengerti hal-hal yang disenangi serta tidak disenangi anak, mengerti cara memasuki hatinya. Anak-anak sangat senang jika ibu atau ayah atau keduanya menemani berbagai aktivitas yang mereka lakukan. Ini akan menimbulkan perasaan bangga dan percaya diri pada anak. Misalnya saat anak-anak ada kegiatan outbond di sekolah yang boleh melibatkan orang tua. Akan menjadi catatan kebanggaan bagi anak apabila orang tuanya hadir membersamai mereka.

Kelima, Berikan Penghargaan dan Hukuman

Ketika anak berbuat salah, hendaknya para ibu bisa menegur dengan bijak. Jika perlu, berikan hukuman yang bersifat mendidik. Namun jangan mengekspresikan kemarahan berlebihan yang akan membuatnya tertekan dan merasa direndahkan, apalagi dengan bentakan, hardikan, pukulan, tendangan serta tindakan fisik lainnya. Hal-hal itu akan menyakiti hati anak-anak, membuat anak merasa tidak diterima, merasa terbuang, tersisihkan dan bisa menimbulkan rasa dendam.

Perhatikan, ada perbedaan yang sangat mendasar antara mendidik dengan memarahi. Mendidik adalah tindakan sadar, terencana dan terprogram untuk membawa anak menuju kondisi yang lebih baik. Sedangkan memarahi adalah ledakan atau luapan emosi sesaat yang tidak terprogram dan tidak dengan kesadaran. Boleh memberi hukuman jika anak melakukan kesalahan, namun bukan dengan kemarahan. Menghukum dilakukan dengan landasan cinta dan kasih sayang.

Sebaliknya, berikan pujian dan penghargaan untuk setiap keberhasilan yang diraihnya agar ia merasa diterima, dihargai, dicintai, dan membuatnya lebih termotivasi. Menjadi sahabat artinya berani bersikap jujur, tidak hanya menyenangkan hati anak-anak, tetapi juga berani menyatakan kesalahan sekaligus membantu memperbaiki kesalahan atau kekurangan anak-anak. Sampaikanlah kelebihan dan kekurangan anak dengan jujur, tetapi dengan cara yang membuatnya mengerti dan tidak merasa disakiti.

Keenam, Berikan Kepercayaan terhadap Anak

Sebagai sahabat, hendaknya para ibu bisa memberikan kepercayaan kepada anak untuk mencoba melakukan sendiri hal-hal yang ingin dilakukannya selama tidak membahayakan dirinya dan orang lain. Cara ini akan menumbuhkan kepercayaan diri anak, tidak selalu bergantung kepada orang lain, merasa dihargai dan bisa mandiri. Kadang orang tua terlalu preventif, sehingga anak-anak terkekang kebebasan dan kreativitasnya. Terlalu banyak larangan di rumah yang membuat anak merasa tidak dipercaya.

Sebaliknya, ada pula orang tua yang terlalu permisif, sehingga anak-anak terlarut dalam kebebasan tanpa batas. Mereka berpesta pora dalam aneka kesenangan yang menyesatkan dan memabukkan. Yang diperlukan adalah sebuah kepercayaan timbal balik antara orang tua dengan anak. Kepercayaan orang tua tidak akan disalahgunakan oleh anak, sebaliknya kondisi orang tua juga harus bisa dipercaya anak.

Ketujuh, Jadilah Teladan bagi Anak

Ibu dan ayah hendaknya mampu menjadi teladan bagi anak-anak. Menjadi sahabat, artinya harus memberikan nasehat secara bijak untuk mengarahkan anak menuju kebaikan. Nasehat kebaikan itu baru memiliki makna dan diterima anak, apabila mereka mengetahui orang tua memang layak menjadi teladan dalam kebaikan. Anak-anak akan merasa nyaman ketika memiliki orang tua yang bisa ditiru dan dicontoh.

Ketiadaan teladan dari orang tua membuat anak-anak mudah putus asa dan tidak memiliki seseorang untuk dipercaya. Maka sangat penting bagi orang tua untuk selalu berusaha memberikan keteladanan dalam kebaikan, karena apa pun yang dilakukan orang tua akan selalu menjadi inspirasi bagi anak-anak.

Manfaat Menjadi Sahabat bagi Anak

Apabila para ibu mampu menempatkan diri menjadi sahabat bagi anak, akan ada sangat banyak manfaat yang didapatkan. Berbagai kemanfaatan ini tidak akan didapatkan apabila ibu tidak bisa menjadi sahabat bagi anak. Di antara manfaat itu adalah:

1.Mampu memahami anak

Banyak orang tua tidak memahami anaknya sendiri. Dengan menjadi sahabat, orang tua semakin memahami sifat dan watak anak, semakin memahami kekurangan dan kelebihan anak, memahami kebiasaan baik dan buruk mereka, juga semakin memahami cara mendekati dan cara memasuki jiwanya. Dengan memahami anak, orang tua akan lebih bisa mengoptimalkan berbagai potensi serta minat dan bakat anak-anak. Selain itu, orang tua juga akan lebih bisa memperbaiki kekurangan dan kesalahan anaknya.

2.Memiliki komunikasi yang lancar dengan anak

Banyak orang tua tidak mampu berkomunikasi dengan anak. Ada sekat psikologis yang membuat orang tua dengan anak menjadi berjarak dan tidak bisa nyambung setiap kali berkomunikasi. Dengan menjadi sahabat bagi anak, komunikasi akan bisa lebih lancar dan nyaman. Jika komunikasi sudah lancar dan nyaman, akan memudahkan orang tua dalam menerapkan pola pengasuhan dan pendidikan bagi mereka. Komunikasi yang lancar dan nyaman merupakan jalan untuk menumbuhkan pengertian dan kepercayaan antara orang tua dengan anak, sehingga hubungan di antara mereka akan lebih terbuka dan harmonis.

3.Mendapatkan kepercayaan dari anak

Banyak anak mengalami krisis kepercayaan terhadap orang tua. Dengan menjadi sahabat, anak akan secara tulus memberikan kepercayaan kepada orang tua. Kepercayaan ini sangat berarti bagi anak-anak hingga mereka dewasa. Di saat anak mengalami problematika kehidupan atau tengah menghadapi masalah berat, mereka akan menjadikan orang tua sebagai rujukan, tempat curhat dan berbagi beban perasaan. Jika anak tidak percaya kepada orang tua, mereka akan memilih orang lain sebagai tempat curhat dan mencari penyelesaian masalah.

4.Memperkuat ikatan batin dengan anak

Banyak orang tua tidak memiliki ikatan batin yang kuat dengan anak, karena ditelan oleh ritme kesibukan yang luar biasa. Dengan menjadi sahabat bagi anak, akan terbentuk ikatan batin yang kuat di antara mereka. Orang tua akan selalu merindukan anak, dan anak akan selalu merindukan orang tua. Ikatan batin ini yang akan membuat hubungan orang tua dan anak menjadi indah dan hakiki, bukan semata-mata ikatan darah dan ikatan hukum waris. Persahabatan inilah yang membuat orang tua dan anak selalu menyambung secara perasaan dan kejiwaan walaupun terpisah tempat tinggal saat mereka mulai dewasa.

5.Mudah mengarahkan anak

Banyak orang tua merasa kewalahan dan tidak bisa mengarahkan anak. Dengan menjadi sahabat bagi anak, orang tua akan semakin mudah dalam mengarahkan anak. Membimbing anak menuju kebaikan dan keberhasilan hidup mereka di dunia dan akhirat, akan bisa dilakukan tanpa perlawanan atau pemberontakan anak. Suasana jiwa sebagai sahabat membuat anak mudah menerima nasihat, masukan, bimbingan dan arahan.

Demikianlah berbagai manfaat yang bisa didapatkan orang apabila berhasil menjadi sahabat bagi anak. Orang tua akan mendapatkan berbagai hal yang memudahkan mereka dalam mendidik, membimbing, mengarahkan dan membantu anak-anak menuju kehidupan yang sukses di dunia dan akhirat, Anak-anak yang memberikan keberkahan hidup bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Bahan Bacaan

1.Ayah Edy, Ayah Edy Menjawab, Penerbit : Qanita, 2011

2.Cahyadi Takariawan, Wonderful Family : Merajut Kebahagiaan Keluarga, Era Intermedia, 2012

3.Ida Nur Laila, Smart Parenting : Menyayangi Anak Sepenuh Hati, Penerbit : Era Intermedia, 2012

4.Nia, Menjadi Sahabat Anak, dalam http://www.ykai.net

5.Rahayu Pawitri, Menjadi Orang Tua Sekaligus Sahabat Anak, dalam http://id.theasianparent.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun