Mohon tunggu...
Pakar Bigdata
Pakar Bigdata Mohon Tunggu... Administrasi - Test

Test

Selanjutnya

Tutup

Money

Penipuan Kartu Kredit dan Solusinya

22 Mei 2019   16:00 Diperbarui: 16 September 2019   11:12 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teknologi vs penipuan kartu kredit merupakan pertempuran yang tidak pernah berakhir, di mana taruhannya tinggi. Peretas menciptakan teknik baru yang lebih canggih untuk mendapatkan informasi kartu kredit secara ilegal dan menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka. Untuk menghindari kehilangan miliaran dollar, perusahaan kartu kredit dan eCommerce, bersama bank-bank, bertaruh pada solusi piranti lunak terbaik di kelasnya -- dengan big data yang disebut sebagai yang paling efektif.

Big Data sebagai Metode Potensial

Lebih baik mencegah penipuan daripada mencoba untuk melakukan pengobatan setelah hal itu terjadi. Sistem big data yang dipasangkan dengan machine learning dapat mengatasinya.

Seperti apa keseluruhan proses yang berjalan? Sistem analitik mengumpulkan informasi dari beberapa sumber -- perangkat konsumen, akun media sosial, percakapan call center, dan lainnya -- untuk mengumpulkan insight mendalam dan membuat profil pengguna. Profil akan mencakup pola perilaku tertentu, dan setiap penyimpangan dari perilaku khas pengguna merupakan alasan untuk waspada.

Berikut ini adalah skenario umum dari kegiatan biasa yang harusnya menimbulkan kecurigaan:

  • Pemilik kartu kredit melakukan transaksi dari perangkat untuk pertama kali;
  • Beberapa transaksi terjadi dari perangkat yang berbeda dalam satu hari;
  • Dua transaksi dari kartu kredit yang sama terjadi di kota-kota berbeda dalam jangka waktu yang singkat;
  • Jumlah pengeluaran biasa per bulan jauh terlewati;
  • Pembelian dalam jumlah besar dilakukan tiba-tiba, dan lainnya;

Setelah skenario tersebut ditandai meragukan, penyedia kartu memberi tahu konsumen lewat panggilan telepon untuk memverifikasi transaksi.

Menurut salah satu lembaga riset di Amerika Serikat, banyak provider yang melangkah menuju sistem otomatisasi untuk notifikasi pengguna. Pengguna kartu mungkin akan menerima pesan teks yang bertanya mengenai apakah sebuah transaksi benar-benar dilakukan dengan merespon 'ya' atau 'tidak' dibandingkan menerima panggilan telepon.

Adanya Ruang untuk Peningkatan

Ada lebih banyak deteksi penipuan otomatis daripada yang terlihat. Dan keputusan untuk memblokir transaksi tertentu dapat menjadi pedang bermata dua.

Mari periksa rangkaian peristiwa ini. Pemilik kartu pergi ke luar negeri tanpa menginformasikan provider di lokasi selanjutnya. Dalam kasus ini, ada kemungkinan transaksi yang dilakukan akan diblokir. Meskipun demikian, jika diimplementasikan dengan benar, sistem analitik anda akan menganalisa data ponsel dan media sosial pengguna untuk mendeteksi lokasi persisnya serta mengurangi resiko pemalsuan.

Tetapi, perusahaan keuangan kemungkinan tetap menghadapi skenario-skenario yang lebih rumit. Bagaimana jika pemegang kartu mengubah perilaku belanja mereka karena alasan tertentu? Dalam hal ini, resiko provider salah menandai pembelian yang legal jauh lebih tinggi.

Jika perusahaan ingin meningkatkan pendeteksi penipuan dan menghindari menimbulkan ketidaknyamanan bagi konsumen, mereka haruslah memiliki sistem yang belajar tentang data baru dan menemukan pola-pola baru untuk menyampaikan wawasan yang kaya secara konstan.

Apa lagi yang harus diperhatikan?

Populernya perusahaan yang bergerak di bidang jual beli daring seperti Tokopedia, Lazada, Shopee, dll akan mendorong pemanfaatan sistem pembayaran elektronik lebih luas lagi di Indonesia.

Di satu sisi situasi ini membuat nyaman, baik bagi konsumen, penjual, bank, dan penyedia kartu. Namun di sisi lain, ini adalah ladang emas bagi penjahat siber.

Menurut Nielsen Report, kerugian akibat pembobolan atau penipuan kartu di seluruh dunia naik menjadi US$21 miliar atau sekitar Rp280 triliun pada 2015, naik sekitar US$8 miliar atau sekitar Rp106 triliun pada 2010. Pada 2020, angka kerugian ini diperkirakan menembus US$31 miliar.

Maka dari itu, dibutuhkan solusi yang tepat dan kompeten untuk mengatasi masalah sekaligus mengurangi resiko penipuan yang ditimbulkan. Big data bisa menjadi salah satu jawabannya.

Banyak yang belum mengetahui jika di Indonesia terdapat piranti lunak solusi analisa big data yang bernama Paques Smart Data Lake. Dengan fitur self-service analytics dan mengusung tema smart data lake membuat Paques dapat bekerja lebih maksimal, cepat, namun tetap efisien dibandingkan piranti lunak sejenis di pasaran. Paques juga sudah dilengkapi dengan grafik-grafik serta visualisasi sederhana yang bisa membuat pembuatan laporan untuk para pengambil keputusan menjadi lebih mudah.

Dengan semakin berkembangnya teknologi, para pelaku kejahatan siber pun terus mencari cara-cara kotor untuk membobol rekening-rekening secara ilegal. Dan jika perusahaan penyedia jasa keuangan dan bank-bank di Indonesia tidak segera memperbaharui sistem keamanannya, maka resiko data-data nasabah dan kerugian yang muncul akan semakin meningkat setiap harinya. Untuk itu, Paques bisa menjadi solusinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun