Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 di depan mata, 9 April ini akan menjadi pesta demokrasi bagi seluruh Warga Negara Indonesia yang telah mempunyai hak pilih, berbeda dengan sebagian masyarakat yang apatis terkait dengan pesta demokrasi ini, pileg bagi mereka hanya sebatas seremonial belaka yang tiap 5 tahun sekali diselenggarakan oleh pemerintah. Di setiap penyelenggaraan pileg atau Pemilihan Umum (Pemilu) yang lain baik itu Pilpres maupun Pilkada, fenomena yang pasti menjadi sorotan adalah angka Golput (Golongan Putih), yang sering kali di kampanyekan oleh pihak-pihak yang kurang puas dengan hasil demokrasi selama ini. Carut marut negeri ini pasca reformasi pun turut andil meningkatkan angka golput di setiap penyelenggaraan pemilu, seperti korupsi oleh elite politik yang selalu menghiasi media nasional, mulai dari century hingga yang paling baru kasus yang menjerat ketua Mahkamah Konstitusi terkait suap dalam sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten. Kegagalan pemerintah sebagai penyelenggara pemilu di setiap agenda pemilu apapun itu, dimanapun itu yang selalu menyisakan sengketa dimana-mana juga bagian yang ikut andil membuat masyarakat kita saat ini menjadi skeptis terhadap pesta demokrasi kali ini. Dan akhirnya fenomena golput ini seakan menjadi benalu bagi yang selalu menjadi pengganggu bagi perhelatan demokrasi di negeri ini.
Fenomena golput ini sebenarnya bukan terjadi sejak 1999 atau pasca reformasi yang selalu mengalami peningkatan hingga 2009 lalu. Tetapi fenomena golput ini mulai muncul tahun 1971 yang merupakan pemilu pertama setelah gerakan mahasiswa angkatan ’66 merubah orde lamanya Soekarno menjadi rezim orde barunya Soeharto. Pemilu tahun 1971 ini di ikuti oleh 10 kontestan partai politik pada waktu itu, yaitu Partai Katholik, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Golongan Karya (Golkar), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Islam (Perti), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Berbeda jauh memang dengan pemilu sebelumnya, yaitu tahun 1955 yang di ikuti oleh 172 kontestan partai politik, pemilu 1971 jauh lebih sedikit. Tetapi ini merupakan bagian dari rezim baru pada waktu itu untuk memantapkan kekuasaannya pasca merombak habis kekuasaan di tangan Soekarno. Golkar sebagai alat dari pemerintah pada waktu itu sudah dapat dipastikan sebagai pemenang pemilu 1971 dengan jumlah suara 34.348.673 dari 54.669.509 total suara atau 62,82% dan mendapatkan kursi mayoritas di DPR yaitu 236 dari 360 kursi yang tersedia.
Jelang pemilu DPR/DPRD I/DPRD II 1971, Mahasiswa dan sebagian tokoh angkatan ’66 merasa skeptis terhadap penyelenggaraan pemilu 1971 ini. Mereka berasumsi adanya pemilu 1971 ini hanya bagian dari kamuflase pemerintah dan ABRI dalam menunjukan bahwa ini demokrasi Indonesia, padahal secara tidak langsung kekuatan militer (ABRI) pada waktu itu tak terbendung. Artinya dengan atau tanpa pemilu kekuatan yang menentukan Indonesia bukan rakyat tetapi ABRI. Berangkat dari asumsi tersebut maka gerakan mahasiswa dan sebagian tokoh angkatan ’66 mencetuskan seruan golongan putih (golput) yang di inisiasi oleh Arif Budiman. Tetapi kata golput itu sendiri awal kali dikemukakan oleh Imam Waluyo, berasal dari seruan mencoblos kertas warna putih di luar gambar partai-partai yang berwarna. Gerakan golput ini juga bagian dari kekecewaan sebagian tokoh angkatan ’66 yang kecewa akan teman seperjuangannya dulu yang rela melepas idealismenya demi dapat duduk di kursi DPR dan sebagian menjadi Menteri pada saat itu. Memang sebagian dari angkatan ’66 terakomodasi oleh penguasa saat itu di lingkaran kekuasaan pasca Gerakan Mahasiswa Angkatan ’66. Danmenjadi ironis gerakan golput ini tidak terlalu sukses dikarenakan cengkraman pemerintah pada waktu itu lewat militer lebih keras, masyarakat masih berada di bayang-bayang pelibasan rezim Soekarno dan PKI oleh militer. Masyarakat tidak ada yang berani tidak dating di Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena pemilih akan di tandai. Sehingga angka golput di tahun 1971 ini lebih kecil dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, pemilu 1955 yaitu 6,67% (1971) dan 12,34% (1955). Tetapi di tahun inilah, di pemilu DPR/DPRD I/DPRD II tahun 1971 awal kali golput dicetuskan.
Pasca awal kali kemunculan seruan golput dalam dinamika demokrasi di Indonesia. Golput sebagai seruan yang di anggap bagian dari penyimpangan proses demokrasi mengalami pasang surut prosentase suara di Indonesia. Di pemilu 1977 angka golput sebesar 8,40%, 1982 (9,61%), 1987 (8,39), 1992 (9,05%), 1997 (10,07%) dan 1999 (10,40%). Terjadi peningkatan yang signifikan pasca pemilu 1999 yang juga dibarengi dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung di pemilu tahun 2004. yaitu 23, 34% untuk pemilihan legislatif dan 23,47% untuk pemilihan Presiden tahap pertama, serta 24,95% di pemilihan Presiden tahap kedua. Dan sungguh tragis, entah ini bisa disebut kemenangan pencetus golput terdahulu atau bagian dari kekecewaan masyarakat hari ini. Angka golput di tahun 2009 dalam pemilihan legislative mencapai 39% melebihi pencapaian partai pemenang pemilu yaitu Partai Demokrat yang mendapat perolehan suara 20,85%. Dan pada pemilihan Presiden angka golput mencapai 27,7% atau setara dengan 49.212.158 masyarakat yang memilih golput, entah itu disengaja atau awam terkait dengan yang namanya pemilu pada waktu itu.
Melihat data dan fakta di atas dapat di ambil kesimpulan, kondisi pemilu pasca reformasi atau lebih tepatnya ketika kampanye besar tentang kran demokrasi di Indonesia di buka, terjadi realitas yang ironi di mata demokrasi yang “katanya” sudah beranjak dalam proses pendewasaan. Data dan fakta di atas seakan berbicara mewakili seluruh rakyat Indonesia bahwa demokrasi yang kita impikan selama ini sebenarnya belum menemui titik balik pasca cengkraman orde baru. Untuk itu perlu peran bersama seluruh masyarakat di negeri ini yang sadar akan hal ini agar secepatnya memperbaiki. Maka dari itu, penting kiranya kita mengetahui latar belakang atau alasan masyarakat ke-kini-an lebih memilih golput daripada memilih hak suaranya. Ada beberapa hal yang sejatinya bukan kesengajaan dari pemilih, terkadang terjadi kesalahan dari penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), seperti kurangnya sosialisasi pemilu kepada masyarakat awam dan hal-hal teknis yang berasal dari ketidak profesionalan sebagian dari armada KPU selama ini. Tidak salah akhirnya ketika Pemilu terakhir 2009 disebut sebagai Pemilu terburuk sepanjang sejarah pemilihan umum di Indonesia sejak tahun 1955. di luar kesalahan teknis tersebut, sikap Apatis masyarakat yang terlalu sering di buat kecewa oleh elite politik, juga menjadi bagian dari faktor penyumbang angka golput selama ini.
Melihat kenyataan di atas, akankah pemilu legislatif kali ini yang akan diselenggarakan tanggal 9 April 2014 menempatkan golput sebagai pemenang pemilu? tragis sekaligus ironis, dan bagi saya hal tersebut tidak di inginkan oleh setiap orang yang sadar dan mengerti, bahwa hak kita turut serta menentukan negeri ini 5 tahun kedepan. Wajar jika kita skeptis dengan apa yang terjadi kemarin dan hari ini, setidaknya satu suara ambil bagian dalam proses demokrasi kita ini yang tidak beranjak dewasa, mungkin kita tidak mengenal siapa calon legislatif ini, calon legislatif itu yang fotonya selalu mengotori tiap sudut kota, tetapi setidaknya kita beri sedikit kepercayaan kepada mereka, semoga ketika terpilih mereka benar-benar amanah. Dan jika memang tidak amanah pertanggung jawaban di hadapan sang penciptalah yang akan menghakiminya. Pilih dengan hati nurani, selamat berpesta demokrasi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H