Mohon tunggu...
Akhmad Sugiyono
Akhmad Sugiyono Mohon Tunggu... wiraswasta -

Manusia Biasa, bagian terkecil dari masyarakat Indonesia yang selalu menginginkan perubahan masyarakat hari ini menuju masyarakat madani

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Wajah “Bopeng” Pendidikan Kita

3 Mei 2014   22:09 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:54 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di beberapa daerah diperingati dengan cara Demontrasi oleh beberapa aktivis mahasiswa, rata – rata tuntutan aktivis tersebut adalah mendesak pemerintah daerah untuk mengentaskan kebodohan di daerah masing – masing. Seperti di demonstrasi aktivis mahasiswa di Jember Jawa Timur yang menuntut pembebasan buta aksara di kota ujung timur provinsi Jawa Timur ini, tetapi ironis ketika aspirasi yang disuarakan lewat demonstrasi di depan kantor pemerintahan kabupaten itu harus berujung kericuhan. Menjadi lebih ironis lagi pemicu awal kericuhan adalah mahasiswa yang notabene sebagai kaum intelektual.

Kasus di atas hanya sebagaian kecil dari respon kritis aktivis mahasiswa dalam memandang dunia pendidikan kita, meskipun yang disesalkan sempat terjadi kericuhan. Realitas yang lebih miris lagi di dalam dunia pendidikan kita terjadi akhir – akhir ini. Seolah – oleh dunia pendidikan kita dengan bangga menunjukan wajah “bopeng” nya kepada seluruh masyarakat Indonesia. Dan menjadi fakta, problematika di dunia pendidikan menjadi prioritas kesekian di banding dengan maneuver – maneuver para politisi dalam rangka membangun koalisi menuju Pilpres juli nanti.

Seperti diketahui bersama, wajah “bopeng” pendidikan kita semakin di lukai oleh kasus yang cukup menggemparkan seluruh institusi pendidikan, dimana sekolah bertaraf Internasional Jakarta International School (JIS) menjadi sarang “kaum Paedofil” yang cukup mengerikan. Enam tersangka yang di duga melakukan sodomi kepada siswa TK di sekolah Internasional merupakan petugas kebersihan yang melakukan modusnya di dalam kamar mandi sekolah. Yang menjadi pertanyaan, di sekolah sekelas internasional tersebut kenapa peristiwa ini sampai terjadi? Pengawasan dari pihak sekolah seperti apa? Pengawasan dari pemerintah bagaimana terhadap sekolah yang notabene di isi orang – orang asing ini?. Dan yang membuat semakin tragis, JIS selama 21 tahun dan mampu meraup keuntungan trilyunan rupiah ternyata tidak punya izin operasi, dimanakah peran pemerintah selama ini? Khususnya Kementrian Pendidikan Nasional, karena sudah jelas selama 21 tahun JIS ada di Indonesia dengan pelanggaran pasal 71 UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Dirjen Kementrian seakan menutup mata.

Belum selesai kasus pelecehan seksual di dalam JIS, dunia pendidikan kita kembali tercoreng dengan kasus kekerasan yang berujung kematian oleh senior kepada yunior di kampus Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP). Dimas Dikita Handoko mahasiswa semester satu di STIP harus meregang nyawa ketika di aniaya oleh senior – seniornya hanya karena motif Dimas tidak respek kepada seniornya. Kasus ini seakan mengingatkan kita akan kasus lama meninggalnya siswa STPDN yang mengalami tindakan kekerasan serupa oleh para seniornya.

Di luar tindakan kekerasan seksual dan fisik di dunia pendidikan baru – baru ini tersebut, kita juga patut tidak menutup mata dengan tindakan diskriminasi hak akan pendidikan terhadap kaum pinggiran. Di depan mata kita semua bagaimana bocah –bocah SD Cikondang bertaruh nyawa dengan meniti tali jembatan yang sudah rusak di atas sungai arus deras Cisanggiri Garut – Jawa Barat hanya untuk sekolah. Mengingatkan kita juga dengan peristiwa yang sama di alami siswa SD –SMP di Kampung Tanjung, Lebak – Banten 2 tahun lalu. Belum lagi permasalahan lainnya seperti siswa yang harus mengikuti ujian di tengah – tengah ambrolnya sekolah dan lain sebagainya.

Problematika pendidikan di atas hanya sebagian dari begitu banyaknya wajah “bopeng” pendidikan di tanah air. Wajah “bopeng” pendidikan yang seolah merepresentasikan pendidikan yang tidak manusiawi. Patut menjadi kritik bersama, pendidikan yang tidak manusiawi ini berangkat dari birokrasi dan sistem pendidikan yang tidak ideal, dimana sistem pendidikan kita saat ini dibangun oleh birokrasi yang korup, birokrasi yang mencengkram kebebasan hak warga negaranya. Sistem pendidikan di Indonesia sendiri belum menemukan titik idealnya, masih menjadi “lahan basah” para pemangku kepentingan, tidak salah ketika efek yang terjadi adalah problematika seperti studi kasus di atas.

Sudah saatnya pendidikan di Indonesia, di mulai dari kesadaran yang manusiawi untuk memperbaiki birokrasi dan sistem pendidikannya. Mengambil istilah dari Tokoh Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, bangunan pendidikan di Indonesia wajib mengutamakan nilai luhur, kebudayaan atau budi pekerti untuk menciptakan bentuk kasih sayang dan saling menghormati sesama dengan metode “Among” yang bersifat menuntun dan membimbing nara didik agar dapat mengembangkan potensinya. Kedepan sistem pendidikan kita harus fokus terhadap konsep pendidikan yang humanis, yaitu konsep yang lebih menekankan pada pengakuan ke-fitrahan manusia yang memiliki potensi untuk berkembang sesuai dengan kodratnya. Nara didik bukanlah robot yang bisa dikendalikan oleh perancangnya, tetapi nara didik adalah Manusia yang mempunyai hak untuk berkembang sesuai kodratnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun