Yang kuingat, dering handphone berbunyi pagi-pagi buta. Kelopak mataku yang masih rapat enggan terbuka, hanya tangan kanan yang berusaha mati-matian mencari alat yang mengeluarkan suara berisik sialan itu. Getaran dering itu tetap berbunyi hingga hp itu terjatuh -dug! "Ah- apa yan-!" sambil mengusap kepala. (7 Panggilan tidak terjawab). "mampus aku!". Kubaca satu-persatu pesan yang kian menyusul dalam obrolan. "Kemana saja kamu akhir-akhir ini? Kenapa tidak coba tanya atau setidaknya mengabari?" dan nyenyenye... Seingatku bualan itu lebih panjang dari Sajak Kebumen, apalagi isinya se-rumit revisi skripsi. Intinya, Dewi meminta pisah lewat obrolan itu. Biarlah, toh memang sudah seharusnya Dewi bilang begitu, memang... kerjaanku saja setiap hari cuma mabuk-mabukan di tongkrongan, pulang larut malam habis keluyuran tidak jelas. Hari ini saja, aku sedang bersama kupu-kupu malam di apartemen. Namanya juga anak muda, masih cinta kebebasan, tak lengkap rasanya jika belum pernah coba melawan arus.
Malam hari setelah seminggu berlalu, hari yang mungkin menjadi awal penyebab dari peristiwa ironis yang kualami. Dewi tiba-tiba datang meminta nafkah untuk biaya sekolah anak kami. Perdebatan cukup hebat kala itu, entah pengaruh alkohol atau memang begini sifatku, sampai-sampai membuat Dewi menetskan darah dari pelipisnya. Aku tak begitu ingat, bayangan masa itu hanyalah aku yang panik dan melarikan diri dari rumah, serta rintihan dan jeritan Dewi yang kupukul berkali-kali jelas terdengar bercampur dengan perasaan acuh tak acuh saat pergi melarikan diri dari tempat itu.
Berminggu-minggu berlalu, peristiwa itu seakan-akan sirna dalam ingatan. Raut wajah Dewi yang bahagia ketika anak kami lahir pun aku sudah lupa. Kini yang ada hanyalah hiruk pikuk suasana di tempat tinggalku yang baru.
"thanks ya Gin, lu hebat waktu pentas!" puji temanku.
"sans, gua gaada apa-apanya dibanding lu Zri" jawabku merendah.
"pokonya abis beres-beres properti, kita ngumpul dulu sama anak-anak teater lain di belakang, oke?" "siap bos, 86"
Sebenarnya, jika dibilang orang berada, memang tak pernah aku hidup kekurangan. Warisan usaha sawit milik ayah tak pernah kering, isinya ngalir daging semua. Ada orang kepercayaan ayah juga buat mengurusi, aku tek usah repot-repot turun tangan. Tinggal gesek-gesek, langsung cair. Cuma, terkadang ada saja rasa bosan karena terlalu banyak waktu buat tidak melakukan apa-apa. Daripada nganggur, cuma ini pekerjaan yang bisa aku tekuni. Jadi pemain teater panggilan dari panggung ke panggung. Lumayan lah, asal bisa buat beli rokok sama miras aja sudah cukup, nambahin buat keperluan "lain-lain", mungkin. Apalagi sewaktu permintaan manggung sedang banyak, cuan-nya juga pasti deres. Sesuai lah, antara usaha dengan hasil. Biasanya sehabis pentas, kalau sedang senggang, aku dan rekan-rekan teater selalu menyempatkan untuk berkumpul melepas penat. Kegiatannya ya... tidak ada kegiatan, paling hanya merokok dan minum-minum saja, sehabis itu paling langsung bubar.
"Nah ini dia nih orangnya, baru juga diomongin, kemana dulu barusan?" Tanya Fazri. "Adalah... mau tau aja urusan orang." Jawabku sambil duduk disamping Fazri yang sedang menyalakan sebatang rokok. "Eh, Gin, sorry nih tiba-tiba. Tapi katanya lu lagi kesepian kan?" Tanya Fazri. -uhuk-uhuk!! "liat-liat situasi lah nanya begituan mah, lagi sama anak-anak ini" " yaa... gua juga baru tau ini dari anak-anak barusan, karena nggak percaya makanya gua tanya langsung." Jelas Fazri.
Parah memang, temanku yang satu ini kurang bisa membaca situasi. Singkat cerita, akhirnya mau tak mau aku mencoba dengan berat hati untuk bicara terbuka mengenai hubunganku dengan Dewi yang sudah lama "pupus" dan terlantar begitu saja dengan aku yang tidak bertanggung jawab, namun perkara ini hanya ku bicarakan kepada Fazri di rumah setelah bubar dari kumpulan teater malam tadi. Fazri menyarankan untuk mencoba mencari pasangan baru untuk mengobati rasa sepi. Tapi, karena alasan statusku sebagai pewaris tunggal perkebunan sawit yang mungkin terlalu skeptis, aku jadi terlalu selektif dalam memilih pasangan. Takut harta yang seakan turun dari langit begitu saja terbagi dua dengan wanita yang memang mengincarnya sejak awal, kurang lebih begitu.
Sekilas, sesaat sebelum tidur, kembali teringat saran Fazri tentang sebuah aplikasi kencan. "Lu kalo takut soal begituan mah, tinggal pake Tinder aja bos, bisa dah tuh bikin low-profile disana. Jadi lu gausah takut ketemu cewe yang ada maunya doang..." begitu katanya. Entah kenapa aku bisa menuruti saran itu, yang jelas, setelah melakukan seperti apa yang Fazri arahkan, aku mendapatkan seorang perempuan yang sangat cantik sebagai lawan bicara dalam aplikasi itu. Perempuan itu mengaku bahwa namanya adalah Clarrisa. Perempuan yang lebih muda setahun dariku, dan tinggal beberapa kilometer dari tempat dimana aku tinggal sekarang.
Clarrisa adalah perempuan yang baik. Namun, jika boleh jujur, pertama kali aku merasa tertarik untuk berbincang dengannya adalah karena dia memang benar-benar sangat cantik saat bertatap maya. Rambutnya yang panjang bergelombang, dengan lesung pipi yang dengan nyaman menghiasi senyumnya. Orangnya juga terlihat sangat baik, dia tak segan-segan untuk menyapa dengan santai dalam layar kaca handphone. Kami sering berbincang bersama dalam telfon. Bahkan, saat bertemu secara langsung di sebuah kedai kopi. Tak ada perbedaan yang kutemukan antara Clar di dunia maya, dengan Clar yang kuhadapi saat itu, sama-sama telah merampas kehidupanku yang sebelumnya milik Dewi.
Hari demi hari berlalu, arah tujuan dari kedekatan kami semakin terbentuk. Aku sudah mulai cukup terbuka dengan Clar mengenai kehidupan pribadiku, termasuk kebiasaanku sehari-hari dan hal-hal yang menyangkut kesibukan lainnya. Karena rasa penasaran dalam hati mulai terurai menjadi sebuah bentuk baru yang indah, aku sendiri seakan dibutakan oleh cinta mekipun sebenarnya aku tidak merasa seperti itu, itu semua Fazri yang bilang.
"Giin... Agin..., katanya nggak mau diporotin cewek, toh sekarang malah kejadian juga ujung-ujungnya." Omel Fazri. "Nggak lah, ini bukan dia yang minta juga. Mau Motor, Hp, sampe perhiasan sekalipun dia nggak pernah minta. Gua aja yang mau ngasih." Jelasku. "Dih, udah gila ya, pokoknya gua angkat tangan sama lu berdua. Udah nggak ngerti lagi gua sama lu Gin, aneh."
Fazri marah dan pergi begitu saja. Memang orang yang aneh, cintaku yang tulus malah dibilang buta.
Tak ada yang berubah dari Clar hingga saat ini, akan tetaoi dimataku ia tampak semakin anggun hingga membuatku sangat bersemangat hanya dengan memikirkannya saja. Hingga pada suatu ketika, dalam obrolan, ku ajak Clar untuk menginap di salah satu apartemen di Jakarta. Tak kusangka, Clarrissa mengiyakan ajakan untuk bermalam itu.
Betapa gembiranya aku di petang hari saat hendak berdandan untuk datang ke apartemen yang sudah ku sewa untuk kami berdua. Singkat cerita, sesampainya didepan pintu, Clar dengan senyumnya membukakan pintu dengan manis. Ternyata ia telah sampai lebih dulu, lebih lama sebelum aku hendak bersiap-siap di rumah.
Di dalam ruangan kami duduk diatas ranjang dan mengobrol kesana-kemari dengan ditemani dengan minuman anggur. Tak ada yang lebih bahagia dari waktu kala itu. Kami tertawa, bersenda gurau atas hal-hal yang sama sekali tidak penting. Hingga pada akhirnya kami saling merebahkan badan di ranjang, dan kami pun berhubungan badan saat itu juga.
Ditengah-tengah hal itu, tiba-tiba penglihatanku buram seketika. Wajah cantik Clar hilang dalam redup yang berasal bukan dari gelapnya kelopak mata. Ada sesuatu yang menghantamku dengan keras tepat di belakang kepala, sehingga terasa ada darah yang mengalir keluar, ikut menutupi sebagian penglihatan yang mulai samar.
Lalu, kesadaran perlahan hilang dan rasa sakit terasa sangat hebat saat darah mengalir dengan kentalnya. Setidaknya, itulah ringkasan skenario ajal yang tuhan ciptakan spesial untukku. Agaknya memang pantas aku diberi model kematian semacam ini, dibunuh oleh batu bata sisa bekas kuli proyek. Orang bilang, yang seperti ini namanya karma atas peristiwa terdahulu. Aku jadi teringat banyak dosa pada istriku, Dewi. Sesekali ku sebut namanya terbata-bata dengan penyesalan dan taubat pada tuhan yang sudah tidak berarti lagi....
Feature dibuat berdasarkan sebuah artikel dari:
Vina Oktiani. 2020. Kisah Pria Jakarta Kenal Wanita Dari Aplikasi Kencan, Berakhir Dimutilasi diunduh pada Jum'at, 01-07-2022 (19:17 WIB).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H