Mohon tunggu...
Pairunn Adi
Pairunn Adi Mohon Tunggu... Administrasi - Penyuka fiksi

Seorang Kuli Bangunan yang sangat suka menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Kasih Tak Sampai] Perempuan Tanpa Pensil Alis

5 Desember 2020   11:27 Diperbarui: 6 Desember 2020   19:50 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karya Widya Merpati Suwito dan Pairunn Adi

Pov Kartika, pada pukul 18.00 WIB

Sekali lagi kutatap bayangan pada cermin besar di hadapanku. Nice, sudah rapi dan tampak perfect seperti yang kuharapkan. Mata Nania memang jeli. Pilihannya selalu tepat dan belum pernah gagal untuk membuatku tampil percaya diri. Tidak rugi rasanya punya adik pemilik butik. Paling tidak, untuk keperluan tertentu aku bisa mendapatkan advice gratis dan bisa ambil baju dulu di tempatnya, bayarnya belakangan.

"Maumu yang seperti apa?" Dia menatapku seksama. Selalu seperti itu pertanyaan Nania tiap kali aku datang ke butiknya dan minta dipilihkan baju yang cocok.

"Yang bisa membuat seorang penyair terkesan."

"Penyair?" tanyanya dengan nada tak percaya. Pandangan kami bertemu. Kulihat kedua alis tebalnya nyaris bersinggungan.

"Yup!" Aku mengangguk seraya bangkit dari duduk, berjalan menghampiri deretan baju yang tergantung manis pada kapstok. Sejujurnya itu kulakukan untuk menghindari tatapannya yang menuntut penjelasan. Persetan apa pun yang sedang bergumul di dalam pikirannya. Aku sedang tidak ingin membahasnya.

"Sejak kapan?" Nania bertanya lagi, beberapa saat kemudian. Sebenarnya tak mengherankan juga jika sekarang dia menjadi penasaran. Sebab dia tahu betul seperti apa seleraku.

"Jadi yang cocok baju yang bagaimana?" Aku berbalik badan, melihat kembali padanya yang masih terbengong-bengong di tempatnya duduk.

"Ish ..., sejak kapan kau tak mau membagi cerita padaku?" gerutunya sambil berdiri dan mulai mencari-cari. Kukulum senyum. Geli rasanya melihatnya melakukan apa yang kuminta dengan mulut yang menggerutu tak jelas.

Aku tersentak. Sesuatu di dalam genggamanku tiba-tiba bergetar. Menggulung layar tak kasat mata yang sesaat lalu tergelar dan memutar kembali slide peristiwa pagi tadi di Kawai Boutique--nama butik milik Nania. Sebuah pesan WhatsApp masuk. Kusentuh gambar pesawat telpon dalam lingkaran berwarna hijau pada layar handphone.

PEREMPUAN TANPA PENSIL ALIS

Ia selalu mengejar matahari
setombak tinggi
dingin sisa embun tak menepis sepi
waktu-waktunya adalah lentik jemari

Hai
engkau seelok paras bidadari
anggun di atas kuda sembrani
tanpa arsiran di atas lentik mata berduri

Sepagi langit yang mulai membiru
segagah elang berburu
mimpi terabai cericit anak-anakmu
hingga kepak sayap mereka angin akan menderu

Hai
aku menunggui
engkau di batas hari-hari
sendiri

28112020]

[Aku sudah di lokasi, wahai Puan]

"Yes, yes, yeeesss!" Tanpa sadar aku memekik kegirangan.

Senyumku merekah refleks. Puisi yang kesekian kalinya untukku, itu memang yang kuharap darinya. Setelah berpikir sejenak, segera kuketik pesan balasan.

[Ok. Aku OTW]

Kulihat sekali lagi layar cermin sebelum benar-benar beranjak. kukedipkan sebelah mataku pada bayangan yang ada di sana. Perempuan berbalut celana palazzo warna hitam dengan blous casual maroon dan selembar pasmina hitam di kepalanya itu refleks turut melakukannya. Serupa aku.

****

Pov Damar, pada pukul 18.00 WIB

Menunggu bukanlah hal yang menyenangkan. Waktu seolah enggan berputar. Kebosanan mulai melandaku. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu. Gawai dengan segala fiturnya tak mampu lagi mengalihkan pikiran tentangnya, sosok perempuan secantik bidadari yang dikenalkan Lintang tiga bulan lalu. Sejak mengenalnya, aku merasakan nikmatnya jatuh hati. Perempuan sederhana tapi kecantikannya melebihi kebanyakan orang. Sungguh, Tika pun menunjukan tanda-tanda kalau dirinya juga jatuh hati padaku.

Senja baru saja beranjak. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menerangi jalanan di kawasan Trunojoyo. Beberapa pengunjung kedai kopi mulai berdatangan. Ada yang berpasangan, namun tak sedikit pula yang datang beramai-ramai.

"Maaf, boleh pinjam korek api?"

Kurogoh kantong jaket, seorang lelaki berompi hijau berdiri di depanku tanpa kusadari kapan datangnya.

"Ini, monggo, Sam."

"Terimakasih, Mas."

Setelah menyulut rokok, lelaki itu mengembalikan pemantikku.

"Alamak, lama sekali kau, Puan."

****

Kartika, pukul 18.25 WIB

Suara peluit juru parkir terdengar tak lama setelah motorku mendekati garis markah jalan di depan kedai kopi Kota Baru. Sigap, laki-laki berambut ikal sebahu dengan rompi hijau yang menyala di keremangan suasana petang itu menggerak-gerakkan tangannya, memberi komando pada kendaraan lain yang hendak lewat untuk berhenti dulu sesaat, agar motorku bisa menyeberang menuju area parkir kedai.

Dari tempatku memarkir motor, kulihat dia, lelaki jangkung bersorot mata elang yang  kukenal tak lebih dari tiga bulan ini. Namanya Damar. Lintang yang mengenalkannya. Lintang bilang dia seorang penyair. Beberapa karyanya menjuarai event-event sastra yang diadakan beberapa media cetak. Aku seperti menemukan berlian yang sedang kucari. Bukankah gayung bersambut itu namanya, saat aku sedang dalam proyek menulis sebuah novel bergenre romance, tiba-tiba kenal seorang penyair.

 Kata Lintang laki-laki itu tertarik padaku. Ada-ada saja! Memangnya ada cinta pada pandangan pertama? Kok, aku tidak yakin? Lalu kami berhubungan lewat whatsApp,  puisi demi puisi yang merontokkan hati terkirim masuk ke nomorku, dari nomor kontak lelaki penyair itu, Damar Pangestu.

Petang ini langit cerah, padahal sudah memasuki musim penghujan. Entah memang kebetulan, atau Tuhan sedang memberiku izin, sehingga sepanjang sore hingga petang langit tak menjatuhkan setetes air pun. Semalam, usai kubalas kiriman puisinya dengan ucapan terima kasih via WhatsApp, laki-laki itu mengajakku bertemu. Tanpa berpikir panjang aku menyetujuinya. Di kedai kopi ini, yang konon tempatnya berkumpul para seniman untuk nongkrong dan berdiskusi.

"Halo," sapa Damar saat aku telah sampai di hadapannya. Lelaki berkaki jenjang tersebut langsung mematikan rokok dan berdiri sejak melihatku berjalan ke arahnya.

"Hai," balasku singkat. Hening untuk beberapa detik lamanya. Dari ekor mata, aku tahu laki-laki itu sedang terpana menatapku. Ah, Great, Nania! You are the best fashion advisor! "Kita langsung masuk aja, atau ...?" tanyaku, berusaha menyadarkannya dari keterpanaannya.

"Oh, ya ... ya, ayo kita masuk."
Laki-laki penyair itu menggerakkan tangannya, mempersilakanku. Lalu dia mengiringi berjalan di sampingku. Beberapa langkah setelah memasuki pintu kedai kami berdua sama-sama berhenti dan mengedarkan pandangan.

"Ingin duduk di mana?" tanyanya seraya mendekatkan wajah ke telingaku. Aku tahu, dia bukannya berniat kurang ajar. Hanya agar suaranya bisa terdengar olehku. Meski tidak hingar bingar, suara musik yang memenuhi ruangan memang cukup mampu menelan suara lainnya.

"Bagaimana kalau di sana?" tunjukku pada sebuah arah dengan gerakan kepala. Sebuah meja dengan dua kursi yang berhadapan untuk dua orang sedang kosong. Di dekat jendela besar, menghadap ke jalan raya.

"Pilihan yang romantis, Lady," tukasnya senang.

****

Damar, pukul 18.25

Aku mempersilakan Kartika duduk. Di tempat yang dipilihnya, di dekat jendela. Kami berhadapan, sehingga dengan leluasa bisa kupandangi wajahnya. Seperti saat bertamu ke rumahnya tempo hari, senyum manis seolah tak pernah kering dari bibir mungilnya, membuat debar di dalam dadaku kembali bertalu-talu. Terlebih saat pandangan kami bertemu, sepasang bola mata bulatnya membuat pandanganku tak bisa beranjak ke arah lain.

Ya Tuhan, makhluk apakah yang ada di hadapanku ini?

"Hei, kenapa melihatku seperti itu?" tanyanya kemudian, menyadarkanku.

"Apa kau terlahir dari rahim seorang bidadari, Tika?" Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku balik bertanya.

"Ah, kau ...!"

Kartika mengibaskan tangannya. Lalu membuang pandangan ke luar jendela. Aha ...! Wajahnya memerah, rupanya dia sedang tersipu. Ah, tidak, bukan tersipu, tapi mungkin salah tingkah. Bagus, Damar! Langkah awal yang bagus! Ayo, teruskan! Buat perempuan yang alisnya melengkung alami tanpa sentuhan pensil alis itu semakin tertawan.

"Maaf, Tika, ada sesuatu di kepalamu."

Dewi fortuna sedang berpihak. Entah di mana tadi Kartika mendapatkannya, yang pasti di puncak kepalanya memang ada sehelai daun kecil yang tersangkut. Seolah memberiku jalan untuk melancarkan aksi selanjutnya. Kumajukan punggung agar bisa meraih sehelai daun kering di atas kepalanya itu.

"Lihat, Tika, bahkan sehelai daun pun terpesona dan ingin menempel terus kepadamu," kataku lirih sembari menunjukkan daun kecil yang telah berhasil kuambil. Semburat merah dadu kembali bisa kulihat di pipinya. Beruntung sekali ruangan ini begitu terang benderang, tak seperti kedai kopi pada umumnya. Aku benar-benar harus berterima kasih pada yang mendesainnya.

"Ada apa kau mengajakku bertemu, Da ... Dam?"

"Hmm? Apa?" tanyaku, pura-pura tak mendengar.

"Ada apa mengajak bertemu?" ulangnya, dengan suara yang lebih keras.

"Agar aku kembali mendapatkan ketenanganku, Tika. Sudah semingguan ini aku gelisah."

"Gelisah kenapa?"

"Sebab seseorang telah mencuri hatiku."

***

Pov Kartika

Jika ada yang harus diwaspadai oleh semua perempuan di dunia ini, maka itu adalah penyair. Sebab menundukkan hati perempuan adalah keahliannya. Bukan dengan hadiah-hadiah mewah. Bukan pula dengan keelokan rupa. Akan tetapi dengan tutur kata yang mengandung zat memabukkan, mengalahkan secawan anggur yang katanya bisa membuat peminumnya kehilangan kesadaran.

Lihatlah, baru beberapa menit aku dan Damar duduk berhadapan di salah satu sudut kedai kopi, namun sudah berkali-kali pipiku menghangat dibuatnya. Kalau saja aku adalah gadis belia belasan tahun, sudah barang tentu akan terbuai dengan tutur manis itu. Sayangnya aku adalah perempuan yang telah berada di usia yang matang.

"Silakan, ini daftar menunya."
Seorang pemuda jangkung berambut klimis tiba-tiba sudah berdiri di dekat meja kami. Sebuah buku menu bersampul cantik diletakkannya di atas meja.

"Terima kasih," kataku seraya melihat padanya. Pandangan kami bertemu. Oh, My God, sorot mata pemuda itu! Pastilah apa yang tersimpan di dalam tempurung kepalanya adalah pemikiran-pemikiran yang mengagumkan. Sontak dadaku menjadi berdebar. Seperti apa kira-kira serunya berdiskusi dengannya? Dia benar-benar terlihat smart.

'Hei, Tika, sadarlah! Ini bukan saatnya mengagumi seseorang yang sesuai dengan type-mu! Jangan lewatkan kesempatan emasmu mendulang puisi-puisi yang kau butuhkan saat ini!' Sebuah suara yang sangat kukenali tiba-tiba terdengar, mengingatkan. Itu suara dari dalam kepalaku, bukan dari dalam hatiku.

Aku mengangguk lemah. Anggukan yang kutujukan pada diriku sendiri. Ya, aku memang harus tetap ingat, untuk tujuan apa kedatanganku kemari. Si penyair di hadapanku itu, aku sangat membutuhkannya saat ini. Puisi-puisinya kuinginkan ada di dalam novel yang sedang kukerjakan, hanya itu, tidak lebih.

Malang, 5 Desember 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun