Mohon tunggu...
Pairunn Adi
Pairunn Adi Mohon Tunggu... Administrasi - Penyuka fiksi

Seorang Kuli Bangunan yang sangat suka menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki di Ujung Batu

14 Februari 2017   10:31 Diperbarui: 14 Februari 2017   11:08 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Termenung resah, Al, lelaki yang rambutnya mulai memutih, menatap sebuah foto di tangannya. Ia duduk di atas batu besar yang biasa ia tempati saat hatinya gundah. Setiap kali pikirannya bimbang, ia menghela nafas beratnya.

"Kamu laki-laki, Al. Jangan pernah meyerah!"

"Aku tak bisa, aku ..., aku sangat mencintainya," setelah menjawab, kembali Al menghela nafasnya.

Kusut, seakan tak bisa terurai, pikiran Al tak mampu memecah kebuntuannya.

"Cintamu konyol, Al. Seakan tak ada lagi wanita di dunia ini."

"Kamu tak mengerti apa yang kurasakan. Jangan samakan aku dengan yang lain," lirih suara Al, ia masih membela diri.

"Berpikirlah rasional, Al. Jangan negatif."

Al menundukkan mukanya. Sementara, semilir angin mengoyang ilalang di sekeliling batu besar itu. Mungkin Al bertanya padanya, dan ilalang itu mengeleng, pertanda tak setuju atau tak tahu.

Hening, tak ada suara, hanya alunan bisikan lembut Sang Bayu mengusik telingga Al. Ia menikmati dengan pandangan menerawang jauh.

"Pulanglah, Al. Selesaikan masalahmu. Jangan biarkan berlarut, lihatlah apa yang terjadi di rumahmu."

Al tak menjawab, perlahan ia bangkit sambil meraih sehelai bunga ilalang kemudian digigit tangakinya.

Dengan perasaan malas, ia melangkah gontai. Sementara mentari hampir tenggelam, kemerahan mewarnai bukit bebatuan itu. Sesekali Al terpeleset, hampir jatuh ke jurang, mungkin pikirannya masih kacau. Aku mengikutinya di belakang. Keindahan alam yang seharusnya menentramkan hati, tapi tidak sore itu.

Ketika sampai di depan rumah, Al dikejutkan suara tangisan anaknya. Bergegas ia masuk rumah.

Ia melihat anaknya menangis di depan dua tubuh yang tergeletak di lantai yang telah ditutup kain sewek. Ia penasaran, saat ia mendekat, ia lebih terkejut ketika melihat dua sosok tubuh yang terbujur kaku itu.

"It ..., itu ..., tubuhku dan tubuhmu, apa yang telah terjadi?!" Al menjerik histeri.

"Maafkan aku, Al. Dengan begini, kita bisa bersama dan akan selalu bersama," ujarku lirih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun