Dengan perasaan malas, ia melangkah gontai. Sementara mentari hampir tenggelam, kemerahan mewarnai bukit bebatuan itu. Sesekali Al terpeleset, hampir jatuh ke jurang, mungkin pikirannya masih kacau. Aku mengikutinya di belakang. Keindahan alam yang seharusnya menentramkan hati, tapi tidak sore itu.
Ketika sampai di depan rumah, Al dikejutkan suara tangisan anaknya. Bergegas ia masuk rumah.
Ia melihat anaknya menangis di depan dua tubuh yang tergeletak di lantai yang telah ditutup kain sewek. Ia penasaran, saat ia mendekat, ia lebih terkejut ketika melihat dua sosok tubuh yang terbujur kaku itu.
"It ..., itu ..., tubuhku dan tubuhmu, apa yang telah terjadi?!" Al menjerik histeri.
"Maafkan aku, Al. Dengan begini, kita bisa bersama dan akan selalu bersama," ujarku lirih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H