Mohon tunggu...
Pairunn Adi
Pairunn Adi Mohon Tunggu... Administrasi - Penyuka fiksi

Seorang Kuli Bangunan yang sangat suka menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Flamboyan di Taman Kota

18 November 2016   19:08 Diperbarui: 18 November 2016   19:43 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matanya merah menyala, emosinya meledak, membuat tampak menyeramkan. Yang sebelumnya lemah--lembut, penuh sahaja dan selalu membuat rasa nyaman siapa pun yang melihatnya, seketika lenyap disapu amarahnya. Seperti singa betina yang terluka, ia melampiaskan dengan dasyat.

Hatiku menggigil saat menatap mata itu. Entah berapa derajat panas yang membakar dada perempuan di hadapanku ini. Aku tak mampu menebak tekanannya.

Beringsut, aku palingkan pandangan pada meja di hadapanku. Diam dan mendengarkan ledakan yang dasyat dan menyimak apa maksud yang terkandung dalam setiap katanya. Sesekali aku melirik wajah perempuan itu yang masih memerah.

Isaknya mulai pecah, perlahan air bening itu menyiram api di dadanya. Ingin aku mengusap, tapi, nyaliku tertikam amarahnya yang masih berkobar.

"Aku mengerti perasaanmu, El. Bersabarlah, pasti ada jalan terbaik buat masalahmu," kataku lirih, mencoba meredakan emosinya.

"Sampai kapan, Mas? Sampai kapan aku seperti ini?"

Aku terdiam. Tak ada jawaban dalam pikiranku.

"Apakah kau akan merasa bahagia bila menikah dengannya, El?"

"Entahlah," El menghela nafas sambil mengusap pipinya.

Semakin sepi, El tertunduk, seakan ledakan amarah tadi masih belum menuntaskan pesasaan yang menyesak dadanya. Ada sesuatu, dan harus di keluarkan segera agar hatinya merasa lega.

Kabut mulai menyuramkan suasana, sinar lapu di taman tampak meredup. Demikian juga dengan perasaanku. Aku menatap wajah El, amarahnya telah hilang. Masih cantik, bahkan semakin memesona walau mendung itu masih menaunginya.

"El," aku meraih dan mengenggam tangannya, "apakah kau mencintainya?"

Ia mengangkat wajah dan menatapku lekat. Sorotnya sangat teduh, seakan berjuta keindahan tersimpan di sana.

Aku tak mampu menatap matanya terlalu lama. Entahlah, ada sesuatu yang bergetar dalam dadaku.

"Iya, Mas, sebelum kejadian itu. Tapi, entahlah sekarang. Penyesalan ini mengikis perasaan itu."

Suaranya bergetar, seolah menahan kebencian, tapi masih terdengar lembut. Itulah yang membuatku suka.

"Apa kamu sudah menemuinya dan memberitahu keadaanmu?"

"Sudah, tapi dia berkilah."

Aku menghela napas, pikiranku juga kacau.

"Lantas, apa keputusannya?"

"Dani tidak mengakuinya, Mas. Sekarang aku tidak tahu keberadaannya. Dia menghilang sejak mengetahui keadaanku."

"Orang tuamu sudah mengetahuinya?"

"Aku tidak berani bilang, Mas."

El menundukkan mukanya. Air matanya jatuh lagi di atas meja.

"Sudahlah El, tak perlu menangis lagi. Biarlah aku mengantikannya," aku berucap sambil menghapus lelehan bening di pipinya.

"Apa, Mas?! Jangan! Aku nggak perlu dikasihani!"

"Sebenarnya..., Sebenarnya, aku mencintaimu sejak dulu, El. Tapi..., Aku nggak berani bilang, aku..., aku takut kamu menjauhiku," kataku lirih.

"Tapi, Mas...."

"Sudahlah, El, nggak ada tapi-tapian. Besok aku akan menemui orang tuamu."

"Mas nanti tidak menyesal?"

"Tidak, asal kamu mau membuka hatimu untukku. Aku mencintaimu apa adanya."

Mendengar ucapanku, air mata El semakin deras. Aku pindah duduk di sebelahnya dan merengkuh pundaknya dengan segenap rasa yang selama ini aku pendam. El menyandarkan kepalalnya di bahuku. Ada perasaan damai menyusup dalam dadaku.

"Andai saja...."

"Sudah..., jangan berandai-andai. Mungkin ini sudah menjadi jalan yang harus kita lalui, El."

"Terima kasih, Mas."

Suasana semakin suram karna kabut semakin menebal, tapi tidak dengan perasaan kami. Setelah perasaan terlepas, lega hati menembus kesuraman malam bersama langkah cinta kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun