"Tentang El?"
Rus terdiam, ia menitikkan air mata, setiap kali menginggat dan mendengar nama itu.
"Ibu juga serba salah, Nduk. Ibu mengerti apa yang kamu rasakan. Entahlah, masalah ini seperti labirin, sulit sekali mencari jalan keluarnya, kecuali El sendiri yang memutuskan."
"Mengapa Tuhan mengirimkan dia dalam hidup kita, Bu?" Tanya Rus sambil terisak.
Selsa terdiam. Hatinya ikut pedih, teriris bila melihat setiap kali El dan Rus bertengkar.
"Aku sudah menawarkan hidupku, dia menolak. Tapi, bila ada lelaki yang berusaha mendekatiku, dia cemburu, melarangku berhubungan dengan lelaki lain. Sampai kapan, Bu?"
Selsa tak mampu menjawab pertanyaan putrinya. Ia mengerti apa yang ia dirasakan. Usia semakin menua, tapi El mengantung nasib cinta putri semata--wayangnya.
Sementara, mereka berhutang banyak, karena materi yang El berikan. Sejak Rus harus menyandang gelar janda, El menanggung semua kebutuhan hidup keluarganya. Lima belas tahun sudah berjalan, tapi, nasib Rus makin abu-abu. Mereka ingin mendobrak labirin itu, tapi, ada ganjalan dalam hati mereka.
"Ada apa lagi, Bu?" Tanya Bram, anak lelaki Rus, dari depan pintu kamar.
"Ibumu itu lho, Le, selalu sedih menginggat nasibnya," jawab Selsa dengan nadah prihatin.
"Aku tau semua kesedihan dan keresahan yang Ibu alami selama ini. Aku mersasakan semua, Bu. Aku ingin melihat Ibu selalu tersenyum lagi," kata Bram perlahan sambil menitikkan air mata melihat kondisi Ibunya.