Sejak berangkat, jantungku berdetak tak teratur. Itu karena harus melakukan perjalanan dengan Herlang, lelaki yang telah memikat hatiku sejak lama.
Entahlah, dadaku bergemuruh, riuh, seperti suara kereta api yang kami tumpangi. Resah, gelisah, cemas, sekaligus senang, bercampur--aduk dalam hati, membuatku selalu salah tingkah bila beradu tatap dengannya.
Herlang, lelaki yang sempurna di mataku. Tampan, tinggi tegap, pendiam,dan juga lembut orangnya. Suami idaman.
Membayangkan lamanya perjalanan yang harus kami lalui, sepertinya aku tak sanggup, empat belas jam, dari Jakarta menuju Malang, bukanlah waktu yang singkat, ketika harus menahan gejolak di jiwa, namun sekaligus merasa nyaman berada di sampingnya.
Suatu gambaran yang kacau, karena memang itu yang aku rasakan.
"Nih, kamu pegang, buat jaga-jaga kalau kamu mabuk, Asyah," Herlang mengulurkan kantong kresek berwarna hitam.
"Hemmm, sepertinya aku nggak akan mabuk, Mas. Keretanya nggak seperti waktu berangkat kemarin," sanggahku, agak malu.
"Ya udah, nanti kalau merasa mual, kamu ambil di tas, ya?"
Kereta baru berjalan sekitar lima belas menit. Aku malu duduk berdampingan dengan Herlang. Tapi, harus, karena memang itu tempat duduk buat kami. Ia sangat perhatian, namun pendiam itu membuat aku jadi serba salah.
"Duh, Mas, masak aku yang harus selalu mulai dalam percakapan? Kehabisan bahan, nih," batinku.
Herlang memang aneh, lebih pendiam saat berdua, padahal waktu berangkat bersama rombongan tidak sependiam sekarang.
Lelah setelah mengikuti acara yang padat sebetulnya membuat mataku ngantuk, tapi perasaanku membuat tetap terjaga.
"Apakah perasaanmu sama dengan yang aku rasakan, Mas?" Batinku lagi.
Sesekali aku mencuri pandang. Wajah tampannya terlihat gelisah juga. Ia juga terkadang mencuri pandang ke arahku. Ketika beradu, kami sama-sama menunduk.
"Duh, Mas, bicara kenapa, ce? Jenuh nih," kataku dalam hati.
Hampir separuh perjalanan, kami lebih banyak diamnya. Seperti melakukan perjalanan seorang diri, Herlang lebih sibuk dengan ponselnya. Karena jenuh, aku pun terlelap. Selama tertidur, aku tidak tahu lagi kegiatan Herlang. Sampai seseorang membangunkanku.
"Mbak, sudah hampir sampai Stasiun Kota Baru," ucap seorang perempuan yang duduknya berhadapan dengan kami.
Ketika aku terbangun, aku terkejut, tangan kiriku berada dalam genggaman Herlang yang masih tertidur.
"Sejak kapan kamu menggenggam tanganku, Mas? Mungkinkah ini pertanda?" Ah, pikiranku berkata macam-macam.
Saat Herlang terbangun, dan menyadari tangannya menggenggam tanganku, ia buru-buru melepaskannya. Aku melihat ia gugup dan wajahnya memerah.
Ada perasaan hangat menyusup dalam hatiku, mungkin Herlang juga merasakannya, tapi ia malu mengungkapkan. Entahlah.
Tak lama kemudian kami turun di Setasiun Kota Baru. Semoga cinta juga turun bersama kami.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H