Setiap hari hanya memandang dinding, dalam ruangan 3×4 m. Tak pernah keluar, serupa melihat pertunjukan sebuah felm layar lebar yang tak pernah selesai. Terkadang ia menangis, terkadang tertawa, seolah melihat pertunjukan sebuah komedi. Lebih sering mengerutu, mungkin yang dilihat tidak sesuai dengan jalan pikirannya.
Sulastri, perempuan cantik, rambut panjang sepinggang, harus menjalani hidup seperti itu, ia tak kuasa menahan beban dan kenyataan hidup. Pahit, kelat, tanpa madu ataupun gula, seakan menelan bisa namun tak mematikannya.
Ia masih belum percaya bila cintanya telah mengering, rindu di hatinya masih terasa madu, legit masih menempel pada indera perasanya. Empedu yang pecah, getir, tak mampu menghapus manis yang ia rasakan.
Perempuan tanggung itu rela kepayang, mecandu sepi, hanya untuk menginggat kekasihnya. Meski harus melara, menduka, bahkan merobek ingatan yang menyakitkan, menganti dengan selembar lontar bertuliskan sajak-sajak kerinduan.
Setiap kali telah buram, ia basuh dengan darah lukanya, dengan penyesalan yang tak pernah habis menguras air mata.
"Sudah seribu satu hari," desisnya.
Ia selalu menghitung, tak pernah terlewat, semenjak kejadian itu.
Hujan di luar tak mengusik lamunanya, bahkan membangkitkan kenangan, peristiwa yang tak mungkin ia lupakan.
Ketika pulang kuliah, hujan sangat lebat, disertai petir yang menyambar-nyambar. Ia terpaksa berteduh disebuah halte, tak jauh dari kampusnya. Jalanan sepi sore itu. Tiba-tiba sebuah mobil sedan berhenti di depannya. Seorang pemuda turun, kemudian menarik Lastri ke dalam mobil.
Sedang di dalam sudah menunggu empat pemuda lagi. Lastri berusah meronta, tapi kalah kuat. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Ia dibawah ke sebuah bangunan kosong, dan di sanalah hal yang mengerikan itu terjadi.
Lastri diperkosa lima pemuda, berulang kali, hinggah tenggah malam. Setelah mereka puas, ia ditinggalkan dalam keadaan pingsan.
Keesokan harinya, ia ditemukan warga sekitar dan dibawa ke rumah sakit. Berita cepat menyebar, dan kabar kejadian itu sampai juga pada Jel, kekasih Lastri.
Jel terpukul, tak mampu menerima kenyataan itu, ia membatalkan pertunangannya dengan Lastri.
"Apa yang kau pikirkan, Lastri?" tanya perempuan berpakaian serba putih yang tiba-tiba sudah berada dibelakangnya.
"Tidak ada," datar jawabnya.
"Tidakkah kau ingin pulang?"
"Kau mengusir dari rumahku sendiri?" Lastri balik bertanya dengan tatapan tajam.
"Baiklah, aku yang angkat kaki dari sini, kamu baik-baik, ya. Obatnya jangan lupa diminum," perempuan berbaju putih itu menjawab dengan sabar, kemudian ia melangkah pergi.
Lastri bergeming dari tempatnya semula, hanya serembah membasahi pipinya. Tatapannya kosong, tetap pada dinding di depannya.
Aku hanya bisa melihatnya dari luar ruangan. Uluran kasih, sayang, ibaku tak mampu membawanya kembali.
Lastri telah memilih jalan hidupnya sendiri, dalam bayangan kasih yang belum sempat ia rengkuh dalam mimpi seutuhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H