Mohon tunggu...
Pairunn Adi
Pairunn Adi Mohon Tunggu... Administrasi - Penyuka fiksi

Seorang Kuli Bangunan yang sangat suka menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Horor dan Misteri] Kutukan Nyai Roro Kembang Sore

25 September 2016   23:30 Diperbarui: 25 September 2016   23:48 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan tiba-tiba mengguyur kawasan pedesaan yang masih asri itu. Bukan hanya itu, petir menyertainya, menyambar-nyambar seolah mencari mangsa.

Lelaki paruh baya dan perempuan remaja yang dalam perjalanan mencapai puncak bukit di sebelah desa tersebut harus terbirit-birit agar tak basah. Ada sebuah bangunan, menyerupai villa, atau sebuah rumah joglo, mereka menyingkir ke bangunan tersebut.

Aku mengikuti langkah mereka, berteduh di bangunan tua itu. Masih kokoh, tapi tak terawat karena dibiarkan dalam keadaan kosong.

Di puncak bukit ada sebuah candi, peninggalan kerajaan kediri. Walau sudah masuk kawasan cagar budaya, tapi tak banyak yang tahu, atau memang keberadaan candi kurang menarik minat wisatawan. Hanya sesekali orang luar kota yang berkunjung, itu pun mereka hanya mengadakan penelitian, bukan wisatawan.

Mungkin juga karena letaknya yang di puncak bukit, jalan pendakian yang terjal dan sulit, membuat orang enggan mengunjunginya. Aku kebetulan berkunjung ke rumah saudara di desa itu, penasaran dengan cerita para saudara, aku ingin melihat dari dekat.

Lelaki dan perempuan itu seperti sepasang kekasih, terlihat dari sikapnya yang mersra. Agak janggal juga, menginggat perbedaan usianya. Selayak orang dimabuk asmara, kepayang, tak peduli sekitarnya, sikap mesra, saling manja, sesekali bertingkah genit, mengairahkan hasrat birahi.

Mereka tak menganggapku ada, walau langit semakin gelap karena kumpulan awan hitam semakin menebal, mereka tak acuh, asal berdua, tak ada yang perlu dicemaskan.

"Pintunya bisa dibuka, Sayang. Kita masuk, yuk," Si Lelaki mengajak masuk setelah mengecek pintu.

Si Perempuan tanpa menjawab langsung masuk, mendahului Si Lelaki. Aku hanya memerhatikan mereka dari sudut lain.

Suara-suara mesra mereka terdengar dari luar. Semakin lama semakin lirih, ah, bikin merinding, apa lagi dingin menusuk kulitku.

"Ah..., dasar pada ganjeng, cuaca menyeramkan gini, masih saja sempat," gerutuku sedirian.

Kemudian aku duduk di pojok yang aman dari terpaan hujan dan angin. Karena lelah dan dingin, membuatku ngantuk. Kesadaran perlahan memudar, dengan posisi meringkuk, kedua orang tadi hilang dari ingatanku.

Entah berapa lama aku dalam posisi setengah sadar, ketika teriak histeri dari dalam mengema, jelas, seakan sesuatu yang buruk terjadi, sepertinya mereka bertengkar. Aneh juga, baru mesra-mesraan, sudah terjadi pertengakan pada mereka. Aku merasa terganggu dengan teriakan dan suara gaduhnya.

Belum tersadar sepenuhnya, kulihat pintu terbuka dan seorang perempuan paruh baya, rambutnya terurai dan kusut keluar dengan membawa dua potongan kepala. Tercekat, aku tak mampu bersuara ataupun bergerak. Darah masih menetes dari dua kepala Si Lelaki dan Si Perempuan tadi.

Ia berdiri di depan pintu dengan muka terdunduk, air matanya menetes di lantai bersama darah dari potingan kepala yang ia tenteng. Ia melangkah sempoyongan dan berhenti lagi di depan teras. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin sejuta amarah dan kecewa menutup akal sehatnya.

Perempuan paruh baya itu masih dengan tertatih berjalan ke arah batu besar, di tepi yang curam. Kemudian ia berdiri di atasnya dan mengangkat kedua potongan kepala itu.

"Wahai penduduk Desa Kedung Jalin! Aku kutuk kalian hingga turun temurun, semua gadis di Desa Kedung Jalin tidak akan bisa menikah, sebelum menjadi perawan tua!" suara seruannya lantang memecah derunya hujan.

Dan sambaran petir mengelegar tiga kali, seakan mengamini kutukan perempuan paruh baya itu.

Selesai berteiak histeri, perempuan itu terjun ke jurang bersama kedua kepala di tangannya. Aku hanya mampu menyaksikan kejadian yang begitu cepat tanpa bisa berbuat sesuatu. Jiwaku diterkam suasana yang mencekam.

Aneh, setelah perempuan itu terjun ke jurang, langit menjadi terang--benderang lagi. Dan aku ternyata berada di bawah pohon besar dan rindang. Entah pohon apa namanya, tapi dilihat besarnya, pohon itu berusia puluhan atau bahkan ratusan tahun.

Karena kejadian yang aneh, aku mengurunkan niat ke puncak bukit, dan segera kembali ke desa. Begitu sampai, aku menceritakan kejadian yang menimpaku, semua penduduk desa heran, karena kejadian itu memang pernah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu.

Peristiwa perselingkuhan Joko Budeg, suami Nyai Roro Kembang Sore, dengan Sritil, perawan Desa Kedung Jalin. Dari peristiwa itu, kemurkaan Nyai Roro Kembang Sore menjadi sebuah kutukan pada penduduk Desa Kedung Jalin.

Kutukan itu masih berlaku sampai sekarang, sebelum menyandang perawan tua, perempuan di desa itu tak akan laku. Maka, tradisi di desa itu, bukan perempuan yang di lamar, tapi perempuan yang melamar lelaki sebelum mereka menikah.

 

Artikel ini diikutkan dalam rangka mengikuti event horor dan misteri FC

[caption caption="Fiksiana community"][/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun