Kemudian aku duduk di pojok yang aman dari terpaan hujan dan angin. Karena lelah dan dingin, membuatku ngantuk. Kesadaran perlahan memudar, dengan posisi meringkuk, kedua orang tadi hilang dari ingatanku.
Entah berapa lama aku dalam posisi setengah sadar, ketika teriak histeri dari dalam mengema, jelas, seakan sesuatu yang buruk terjadi, sepertinya mereka bertengkar. Aneh juga, baru mesra-mesraan, sudah terjadi pertengakan pada mereka. Aku merasa terganggu dengan teriakan dan suara gaduhnya.
Belum tersadar sepenuhnya, kulihat pintu terbuka dan seorang perempuan paruh baya, rambutnya terurai dan kusut keluar dengan membawa dua potongan kepala. Tercekat, aku tak mampu bersuara ataupun bergerak. Darah masih menetes dari dua kepala Si Lelaki dan Si Perempuan tadi.
Ia berdiri di depan pintu dengan muka terdunduk, air matanya menetes di lantai bersama darah dari potingan kepala yang ia tenteng. Ia melangkah sempoyongan dan berhenti lagi di depan teras. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin sejuta amarah dan kecewa menutup akal sehatnya.
Perempuan paruh baya itu masih dengan tertatih berjalan ke arah batu besar, di tepi yang curam. Kemudian ia berdiri di atasnya dan mengangkat kedua potongan kepala itu.
"Wahai penduduk Desa Kedung Jalin! Aku kutuk kalian hingga turun temurun, semua gadis di Desa Kedung Jalin tidak akan bisa menikah, sebelum menjadi perawan tua!" suara seruannya lantang memecah derunya hujan.
Dan sambaran petir mengelegar tiga kali, seakan mengamini kutukan perempuan paruh baya itu.
Selesai berteiak histeri, perempuan itu terjun ke jurang bersama kedua kepala di tangannya. Aku hanya mampu menyaksikan kejadian yang begitu cepat tanpa bisa berbuat sesuatu. Jiwaku diterkam suasana yang mencekam.
Aneh, setelah perempuan itu terjun ke jurang, langit menjadi terang--benderang lagi. Dan aku ternyata berada di bawah pohon besar dan rindang. Entah pohon apa namanya, tapi dilihat besarnya, pohon itu berusia puluhan atau bahkan ratusan tahun.
Karena kejadian yang aneh, aku mengurunkan niat ke puncak bukit, dan segera kembali ke desa. Begitu sampai, aku menceritakan kejadian yang menimpaku, semua penduduk desa heran, karena kejadian itu memang pernah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Peristiwa perselingkuhan Joko Budeg, suami Nyai Roro Kembang Sore, dengan Sritil, perawan Desa Kedung Jalin. Dari peristiwa itu, kemurkaan Nyai Roro Kembang Sore menjadi sebuah kutukan pada penduduk Desa Kedung Jalin.