Rendy masih merukuni kenang itu, Pada pematang kening sepanjang sungging kekasihnya, yang pergi sejak 36 purnama lalu. Dalam kurun kesal dadanya yang begitu bidang, mencangkok ingatan, memupuk kebencian kian makmur dalam tumbuhnya di celah jantung.
Seruni, perempuan pengukir laranya, semenjak ia pergi demi cinta yang lain. Serupa menuangkan racun, bisa yang mungkin tiada penawarnya, kecuali dirinya sendiri.
Ingatan Rendy tak mungkin bisa lepas darinya, walau sakit, pahit, ia jalani. Seruni serupa sihir, pelet, pengasihan yang mengalir dalam setiap tetes darah dan denyut nadi, wajah dan namanya menyatu dalam jiwa Rendy.
"Lupakan dia, Rend, demi anak-anakmu, raihlah cinta perempuan lain," aku mencoba memberi semangat.
"Ini bukan cinta biasa," Jawabnya di antara gagap tak tanggap mengawini waktu.
Lalu, bola matanya meleleh lebih lumer dari lilin di ruang tamu yang pada setiap malam ia nyalakan untuk dia, yang masih juga ia sebut kekasih.
Rupanya ia mencandui, selayaknya canabi, kepayang pada cintanya Seruni.
Banyak sekali puisi tumpah di sana, berpesta pora antara rindu juga isak sesal yang senak.
Sekala waktu pernah bilang tentang cinta yang tidak serta-merta bersama. Pun tak pula bersesal sepanjang usia. Bukankah hidup selayaknya tetap berjalan? Pada sebuah ketentuan yang acap dilupakan, ia pun melupakan Sang Cipta Segala Maha.
"Lihatlah, Rend, Serunimu sedang berpesta cinta, meneguk birahi, menuangkan hasrat bersama lelaki lain. Tidakkah kau sadar? Ia bukan lagi cintamu yang dulu, bukan pula patut kau rindui sedemikaian rupa hingga kau meneguk lara," aku menyanggah semua keyakinannya.
"Biarlah waktu yang bicara, ia pasti bangga dengan ini semua, itu yang aku mau."