"Joni bilang akan datang saat pernikahanmu."
"Aku menginginkan sekarang, sebelum aku disentuh laki-laki. Aku ingin menumpahkan cintaku pada hari ini, hari istimewaku," Fitri berucap dengan tubuh berguncang karena menangis.
Harapan telah pupus, hanya tinggal puing-puing mimpi yang habis terbakar. Fitri tak lagi bergairah, hatinya luluh-lantak.
"Sabar..., Fit..., aku pastikan, Joni hadir dipernikahanmu nanti."
Fitri tak menjawab. Tangisnya belum reda, penyesalan nasib yang mengharuskan ia melepaskan orang yang sangat dicintai, sungguh luka yang menyakitkan.
*****
Lima hari kemudian, tiba acara pernikahan Fitri dengan lelaki pilihan orang tuanya. Di rumah telah ramai para undangan dan saudara yang hendak mengikuti acara sakral itu.
Wajah Fitri tampak pucat, walau telah dirias. Tak ada pancaran gairah dalam jiwanya.
"Joni pasti datang, Fit," bisik Rosa saat proses rias berjalan di dalam kamar.
"Aku sudah tak peduli lagi," dingin jawaban Fitri.
Setelah semua persiapan selesai, acara akad nikah pun segera di mulai. Fitri sudah siap di depan penghulu dengan muka tertunduk. Tanpa ekpresi, namun matanya sembab.