Â
"Kenapa murung, Jo?" melihat Tarjo termenung seorang diri di teras rumah mengoda Adi bertanya.
"Tadi sore daganganku di rampas SATPOL PP, Di," jawab Tarjo tanpa semangat.
Tarjo gundah, modal dan perkakas jualannya disita SATPOL PP. Gerobaknya pun turut diamankan.
"Terus, besok kamu nggak jualan?"
"Modalnya habis, Di. Gerobaknya juga nggak punya lagi."
"Pasti kamu melangar, Jo."
"Mau jualan di mana lagi, Di? Yang laris di tempat yang dilarang. Ya terpaksa melanggar, Di."
"Ah..., kamu memang bandel, Jo. Kalau sudah gini, gimana? Yang rugi kamu juga, kan?"
"Entahlah, Di..., mencari kerja juga sulit sekarang ini," keluh Tarjo.
"Sudah tahu hidup itu sulit, kenapa kamu tidak hati-hati?"
Ada berapa orang yang bernasib seperti Tarjo di negeri ini? Ratusan..., bahkan lebih. Lantas siapa yang salah? Negara, atau para pedagangnya?
Dalam sebuah berita, disebutkan, hanya beberapa jam, donasi telah terkumpul ratusan juta rupiah buat para pedagang yang telah dirazia perangkat negara. Pasti berita ini menampar muka negara, seolah negara dalam posisi arogan, menindas rakyatnya. Yang menulis berita tersebut pasti bangga, karena beritanya menjadi topik utama. Tapi, apakah mereka sadar, apa yang mereka beritakan, justru memberi pembelajaran yang salah pada para pedagang itu?
Yang memberikan sumbangan pun juga, apa mereka sadar sumbangan mereka bisa menjadi pembelajaran yang buruk?
Peran negara, salah satunya menegakan peraturan dan tata tertib yang telah dibuat dan disepakati. Bila ada pelanggaran, tentulah negara, melalui aparaturnya, menindak pelanggaran itu.
Jangan dikira, aparatur negara senang dengan tugas yang mereka emban. Mereka juga punya hati, mereka juga kasihan pada para pedagang itu, tapi, peraturan harus ditegakkan agar semua bisa tertib.
Bila saja mereka punya pilihan, tentu mereka lebih memilih membiarkan para pedagang itu. Tapi, coba kita bayangkan, apa yang akan terjadi bila hal itu dibiarkan terus menerus? Kemacetan dan kesemrawutan akan berdampak luas. Resiko kejahatan meningkat, bentrok bisa terjadi setiap saat. Dan lagi, bila kemacetan tak dapat diatasi, para pemilik modal akan hengkang dari kota itu karena merasa tidak nyaman.
Bila para pengusaha mengalihkan modal mereka ke tempat lain, maka akan timbul pengangguran yang lebih besar lagi. Padahal, lebih banyak masyarakat yang mengantungkan hidup mereka pada perusahaan-perusahaan dari pada yang berdagang.
Di sini, para pembeli pun turut andil juga dalam pembelajaran. Kalau saja mereka mau membeli ditempat yang sudah disediakan, tentu para pedagang juga tidak akan melanggar ketertiban. Dalam hal ini, tentulah masyarakat yang disiplin akan memberikan rasa nyaman bagi penguna jalan.
Pedagang kaki lima memanfaatkan keadaannya untuk meraih keuntungan walau dengan melanggar ketertiban. Banyak sekali alasan yang mereka kemukakan. Dengan himbauan dan peringatan, mereka masih membandel, terus mau dengan cara bagaimana lagi negara menertibkan mereka?
Mari kita bersama-sama memelihara tempat tinggal kita ini. Ciptakan suasana yang nyaman, jangan mengunakan hak kita untuk melanggar hak orang lain. Jadikan kedisiplinan menjadi yang utama dalam diri kita masing-masing. Dengan demikian, akan tercipta dengan sendirinya suasana yang nyaman bagi kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H