"Kalo rakyat yang tinggal di sepanjang sungai taat dengan program pemerintah, tentu banjir bisa diatasi. Tapi sekarang ini, rakyat direlokasi ke tempat lain pada nggak mau. Digusur pada protes. Padahal, mereka itu pendatang yang menempati tanah negara tanpa ijin. Kalo banjir gini mereka pada teriak-teriak minta bantuan dan menyalahkan pemerintah," jawab Adi dengan senyum sinis di bibirnya.
"Kami bertempat di situ karena keadaan, Pak Adi. Kalo kami mampu, kami nggak mau bertempat tinggal di situ," jelas Surti menyambung pembicaraan.
"Nah, ini yang menjadi kendala pemerintah. Rakyat yang tinggal di sepanjang bibir sungai yang membuat banjir, walau masih ada faktor-faktor lainnya. Pemerintah jadi kebingungan, digusur paksa, dikatakan tidak berperikemanusiaan, disuruh pindah dengan suka rela, mereka tidak menggubris. Terus kalau banjir begini semua pada menyalahkan pemerintah. Nah, pemerintah harus bagaimana ini?" ujar Baginda menyela perdebatan.
"Bila tidak bisa diatur, buang ke laut saja, Baginda," ujar Adi.
"Eh, emang kami sampah di buang ke laut? Jangan mentang-mentang Anda kaya, ya!" seru Tarjo emosi.
"Mau apa?" tantang Adi.
"Sudah-sudah... Tarjo, tolong sosialisasikan pada mereka yang tinggal di pinggir sungai agar mereka mau dipindahkan. Kalo mereka bersikeras, banjir tidak akan hilang," Baginda beralih memandang Adi, "Dan kamu, Adi, sediakan dana dan prasarana agar perbaikan sungai dan pembuatan waduk bisa segara terwujud."
"Kami siap, Baginda, tapi rakyat seperti Pak Tarjo ini yang keras kepala. Kalo mereka masih belum mau pindah, gusur saja, kalau nanti ada yang protes dengan alasan kemanusiaan, suruh yang protes turun langsung biar tahu keras kepalanya rakyat yang tinggal di sepanjang bibir sungai," ujar Adi.
"Dari tadi kata-kata Pak Adi ini memojokan kami. Memang Pak Adi bisa apa kalau tidak ada orang-orang miskin seperti kami?" Jawab Surti.
"Apa pentingnya orang miskin?" Tini ikut bicara. Sedari tadi hanya diam memerhatikan.
"Jangan berlagu kamu, Tin!" Seru Surti.