Mohon tunggu...
Humaniora

Kemajuan Makassar pada Abad ke-17

28 Mei 2016   13:40 Diperbarui: 28 Mei 2016   14:08 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kita adalah saudara, sama-sama hebat, tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, kita berdua sama-sama tunduk hanya di hadapan Déwata. Tak ada yang boleh takluk terhadap yang lain. Kita akan saling berbicara terbuka, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” (dikutip dari Andaya: 1981: 10-9).

Perjanjian klasik perjanjian keramat yang pernah terjadi dalam sejarah Goa adalah perjanjian antar Goa dan Talloq, perjanjian ini tercatat berlangsung di awl abad ke-16. Masing-masing penguasa, seperti halnya leluhur mereka, percaya pada sumpah bahwa ‘barang siapa yang menyebabkan terjadinya permusuhan antara Goa dan Talloq akan dikutuk oleh Tuhan’ (Wolhoff dan Abdurrahim 1960:21)

Model perjanjian semacam ini terbukti efektif dalam rangka berhubungan dengan pedagang asing. Misalnya dalam perjanjian antara Raja Tunipalangga (1854-1866) dan perwakilan dagang Melayu yang akan membuka pangkalan dagang di Makassar. Para pedagang Melayu ini mendapat jaminan bahwa wilayah yang mereka tempati tidak akan dimasuki oleh orang Makassar, dan peraturan Makassar tertentu tidak berlaku bagi mereka dan keluarganya. Dengan demikian, pedagang-pedagang ini memperoleh semacam wilayah kekuasaan sendiri tetapi dilarang menghukum pelanggar kejahatan tanpa seizin penguasa setempat.

  • Perbudakan dan Kebebasan

Pada akhir abad ke-18, Bugis mulai dikenal sebagai wilayah di Asia yang paling cinta kebebasan. Orang-orang Bugis menyusun sejumlah aturan yang meletakkan dewan di atas penguasa, dan menggunakan prinsip-prinsip pemilihan untuk banyak jabatan. Pada tahun yang sama, Bugis mengirimkan sekurang-kurangnya 3000 orang rakyatnya yang kurang beruntung ke pasar budak di Batavia ( Sutherland 1983:270). Brooke menyebutkan bahwa di Wajo semua pekerjaan harus diemban para budak. Dalam hal kebebasan pribadi, hak-hak individu tak dapat dicapai tanpa adanya perbudakan. Saat masyarakat masyarakat Wajoq dengan bangga mengumumkan bahwa segenap orang Wajoq merdeka, hanya adatlah yang di pertuan( Pelras 1971:174-5), mereka memahami persis artinya- bahwa mereka bukanlah budak dari siapa saja- bukan budak kerajaan Bone atau Belanda, atau bahkan bukan budak arungmereka sendiri, mereka adalah orang bebas.

Perbudakan menjadi hal yang kurang dominan di Makassar. Pada abad 17, jumlah budak milik pribadi mecapai angka terendah di Makassar. Pada masa ini pula budak asal Bugis-Makassar tidak diekspor. Perbudakan di Makassar lebih tidak lazim dari negara-negara tetangganya.

Namun, Wajoq dan Makassar tetap merupakan bagian dari satu rangkaian kultural, di mana hak-hak para aristokrat, dan kendali mereka terhadap orang-orang mereka sendiri tidak boleh dilanggar demi raison d’etat. Di Makassar dan Wajoq, kelas Penguasa terdiri dari orang-orang yang bangga akan status, sadar akan hak dan kewajiban, serta dapat bertindak dan berpikir sebagai orang merdeka.

  • Sistem Tenaga Kerja

Ata merupakan sebutan bagi pekerja di Makassar. Mereka bekerja sebagai bagian dari kewajiban terhadap majikan dan tidak mengharapkan upah. Meski begitu, ata tidak bisa diartikan langsung sebagai budak, karena penghambaan secara pribadi (private slavery) hanya merupakan salah satu dari banyak kewajiban di Makassar. Terdapat hubungan antara ata dengan kewajiban bekerja, tetapi ata lebih merupakan ekspresi sebuah hubungan daripada status sosial.

Dengan adanya pola seperti ini, banyak pekerjaan besar yang dapat terselesaikan. Hal ini dapat terlaksana berkat sistem obligasi yang rumit, di mana setiap bangsawan wajib mengerahkan orang-orangnya (ata) untuk ikut bekerja pada proyek-proyek besar ini. selain itu beberapa wilayah taklukan diwajibkan oleh syarat penyerahan diri mereka untuk mengirmkan pekerja ke kota yang biasanya dilakukan secara bergiliran (rotasi). Meski aturan membuka peluang pengarahan seperti ini, Sultan Hasanuddin pada tahun 1660, bertindak terlalu jauh dengan mewajibkan 10000 orang bugis dan kerajaan Bone(yang ditaklukkan dua kali) menggali sebuah saluran raksasa untuk mengalihkan aliran sungai jeneberang, dengan alasan untuk keperluan strategi. Tindakan ini menjadikan pemberontakan Bone yang bersekutu dengan VOC.

Tukang-tukang ahli dikerahkan demi melayani raja, hal ini didasarkan pada aturan wajib kerja. Raja Tunipalangga(1548-66), berdasarkan kronik Goa, diberikan penghargaan sebagai Raja pertama yang meminta tenaga lebih kepada rakyatnya, juga mkenyusun sebuah badan pengawas yang disebut tu makkajannangngang (pengawas) untuk memobilisasi orang-orang dengan keahlian tertentu:’pandai besi, tukang emas, pembuat rumah, pembuat perahu, pembuat pipa, tukang tembaga, tukang gerinda, pengolah tanah,pembuat tali’ (Wolhoff dan Abdurrahim 1960:25,20) penerusnya kemudian menambahkan beberapa bidang keahlian dan membuat organisasi baru untuk itu, biasanya dipegang oleh orang-orang kepercayaan raja, demi mengatur semua organisasi tukang ini (Wolhoff dan Abdurrahim 1960:50).

  • Surut atau Kalah?

Dari uraian di atas, dapat kita tarik sebuah benang merah faktor-faktor sosio-kultural yang turut mempengaruhi keberhasilan Makassar pada abad 17. Hal ini antara lain adalah pluralisme yang mendorong gagasan-gagasan baru, penghargaan lebih terhadap hak-hak adat dan kerjasama menguntungkan daripada kekuasaan raja, dan sistem yang dapat meminta tenaga kerja tanpa menekan hak-hak inisiatif. Sistem patron-klien yang berlaku juga memungkinkan terjadinya mobilitas sosial sehingga meningkatkan persaingan dalam iklim politik Makassar. Sebagaimana di wilayah lain, pluralisme, kebanggaan, kesadaran hierarki, dan kualitas pengikat dari perjanjian, dapat menjadi sumber kelemahan sekaligus kekuatan.

Selama satu abad faktor-faktor ini telah menjadi dasar bagi salah satu negara dan budaya urban paling brilian di Indonesia. Seharusnya kualitas ini tidak boleh diabaikan pada masa kini, ketika sedang dilakukan upaya pendefinisian sebuah model perilaku politik ‘Indonesia’ berdasarkan sumber kekuasaan yang tunggal dan terpusat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun