Mohon tunggu...
Humaniora

Kemajuan Makassar pada Abad ke-17

28 Mei 2016   13:40 Diperbarui: 28 Mei 2016   14:08 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Konsep cakrawartin (penguasa-dunia) tampaknya tidak memiliki akar di Sulawesi Selatan. Kronik dan mitos menunjukkan bahwa asal-usul kerajaan di wilayah ini berasal dari kebudayaan animis yang masih terus bertahan. Kekuasaan berasal dari dewa langit, dan menitis ke bumi di berbagai tempat: Luwuq, Bone, Soppeng, dan Pammana (Wajoq) untuk kalangan Bugis; Goa, Bajeng (Polombangkeng), Galesong, dan Onto (Bantaeng) untuk Makassar. Semuanya mengklaim bahwa dinasti mereka berasal dari keturunan dewata tomanurung yang berbentuk benda-benda magis yang kemudian dijadikan pusaka kerajaan, yang memiliki anak setelah membumi dangan penduduk setempat kemudian kembali menghilang ke langit, dan hanya para tomanurung ini yang berhak memerintah. Meski ada sedikit pengaruh Jawa pada awal berdirinya kerajaan, dan tentunya pengaruh Melayu-Islam setelahnya, kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada dasarnya terbentuk secara endogenus dan membentuk rasa kemerdekaan mereka sendiri.

Suatu kerajaan dapat menguasai dan menyerap kekuasaan lainnya dengan mengawini sehingga menjadi bagian dari keluarga kerajaan dan menguasai benda pusakanya. Kerajaan Goa – Talloq juga menyerap kerajaan-kerajaan kecil di wilayah itu yang kini dikenal sebagai Takalar dan Maros pada abad ke-16, dan seluruh wilayah berbahasa Makassar pada puncak kejayaannya di abad ke-17.

Salah satu contoh menonjol tentang pluralisme ini adalah Talloq. Kerajaan ini berbeda dari dinasti kecil lainnya yang dikuasai atau berkonsiliasi dengan Goa di awal abad 16. Bagi Goa yang sedang bertumbuh itu, Talloq bisa menyediakan pelabuhan, hubungan-hubungan perdegangan dan, dinasti berkemampuan handal. Kemitraan istimewa dua dinasti yang nyaris sederajat ini tidak akan mampu mempertahankan kekuasaan Goa yang sedang tumbuh jika tiga rumpun keluarga Talloq berturut-turut tidak mampu memegang kendali pada saat-saat kritis dan menegaskan pandangan dualistik mereka.

  • Perjanjian

Tidak jauh dari wajah pluralistiknya, komunitas Bugis dan Makassar juga memiliki kesiapan mengatur hubungan mereka lewat perjanjian antara dua pihak, di mana masing-masing mengakui hak pihak lain. Unit-unit politik yang lebih besar dibentuk lewat perjanjian semacam ini, yang lebih sering terjadi ketimbang penaklukan fisik belaka.

saat penguasa bugis dinobatkan, ritual mereka sendiri kemudian ditambahkan dalam perjanjian ini, dan kemudian hak dan kewajiban penguasa dan rakyat juga diperbaharui. Dibawah ini adalah salah satu pepatah bijak bugis, yang kerap digunkan pada upacara penobatan, menetapkan hierarki dari pusat kekuasaan dimana para penguasa (Arung) selalu berada di lapisan bawah.

“ Siapa saja boleh menggugat keputusan penguasa, tetapi tidak dewan rakyat (atau adat, adeq)

Siapa saja boleh menggugat keputusan dewan rakyat, tapi tidak para tetua (anang)

Siapa saja boleh menggugat keputusan para tetua, tetapi tidak perjanjian bersama(appadaeloreng- dari dasar kata pada eloq = aspirasi bersama)”

Dengan kata lain, wewenang tertinggi diatur dalam perjanjian, dimana keputusan penguasa berkekuatan lebih kecil. Sejarah mencatat para penguasa mengadakan perjanjian-perjanjian yang saling menguntungkan dengan wilayah-wilayah independen, contoh dari perjanjian tersebut adalah sekutu Tellumpoccoe yang terkenal pada 1582 antara Bone, Soppeng, dan Wajo.

Istilah-istilah yang sering digunakan dalam perjanjian-perjanjian menegaskan kepercayaan mereka terhadap sumpah adat. Berdasarkan catatan sejarah, istilah-istilah yang paling sering digunakan dalam bahasa Makassar adalah maqqulukana (Bugis makkuluada) dan sitalliq (Bugis sitalliq) yang berarti ‘bersumpah demi kehormatan’ dan ‘sumpah untuk saling membantu antara dua kerajaan’. Kekuatan pengikat dalam perjanjian ini berasal dari kepercayaan pada masa pra-Islam, sebuah kepercayaan bahwa arwah yang telah meninggal dapat melakukan sesutu kepada orang yang masih hidup. Jika sumpah dilanggar, maka pihak yang melanggar dipercaya akan tertimpa penyakit, kematian, atau kesialan.

Perjanjian yang sering terjadi denga pihak-pihak yang sederajat tapi memiliki otonomi biasanya digambarkan sebagai perjanjian antar dua orang yang bersaudara. Sedangkan perjanjian yang paling dianggap keramat adalah perjanjian yang berlangsung antara dua kerajaan berposisi setara dalam berbagai hal. Begian pembukaan perjanjian seperti ini biasanya mencantumkan dengan jelas ungkapan berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun