Setelah riuh rendah karena IPK Indonesia anjlok jadi 34, atau sama dengan IPK tahun 2014, maka seperti biasa keriuhan ini reda. Publik disibukkan oleh issue lain dan lupa apa artinya IPK 34 ini..yang menempatkan negara kita setara dengan negara sub-sahara Afrika. Bukan lagi persaingan di ASEAN. Issue nya reda, tidak ada langkah apapun yang secara sistematis direncanakan untuk menaikkan IPK ini. Sampai bertemu tahun depan dengan issue dan keriuhan yang sama.
Apa arti IPK yang rendah dan dampaknya dalam upaya memakmurkan rakyat kita?
Untuk yang merasa nasionalisme nya terganggu dengan pengumuman IPK ini tentu memiliki segudang amunisi untuk mengabaikan IPK ini. Â Pertama, mereka menyebut kalau negara Indonesia ini berdaulat, jadi tidak boleh didikte atau dinilai oleh LSM seperti Transparansi Internasional termasuk TI Indonesia. Kedua, IPK ini mencerminkan persepsi dari orang yang disurvey. Mungkin 10 tahun yang lalu ia pernah mengurus KTP dan dimintai uang. Sekarang ketika ia menjadi responden survey tentu ia menjawab bahwa korupsi di pelayanan KTP ada. Padahal faktanya sudah dipermudah, dibuat transparan dan prosesnya terbuka. Jadi persepsi tidak sama dengan fakta. Terutama ketika sudah terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Persepsi bukan juga pengalaman nyata. Bisa jadi ia berpendapat berdasarkan informasi yang diperoleh dari orang lain.Â
Kelemahan ketiga, soal metodologi. TII memiliki hasil dari 13 lembaga survey global. Skor didapatkan dari pendapat ahli atau expert baik lokal maupun global. Lalu sebagian skor dari survey. Target survey pun beragam. Ada pemimpin perusahaan global dan lokal, ada juga masyarakat. Jadi bisa dibayangkan kalau survey di Indonesia, tentu harus dipahami dimana sampel survey diambil. apa yang ditanyakan dan ke siapa ditanyakan.  Skor pun dikeluarkan ke 13 lembaga tidak serentak. Ada yang setiap bulan sudah ada skornya, ada yang tahunan, ada juga yang 2 tahun sekali- ini yang membuat skor stabil, karena tidak ada skor  yang baru.Â
Perhitungan skor IPK wewenang mutlak TII. Mereka bebas menentukan bahwa Timor Leste hanya 3 skor lembaga saja yang digunakan. Sementara Indonesia harus 9 skor dari 13 lembaga. Pernah Indonesia menggunakan 8 skor dirata-ratakan secara merata. Kemudian tahun berikutnya dinaikkan menjadi 9 lembaga. Entah kenapa, tidak ada penjelasan yang transparan. Jadi kalau ada yang membandingkan Indonesia dengan negara lain, mohon disamakan dulu skor lembaga survey yang digunakan. Baru dibandingkan. Membandingkan Indonesia dengan Timor Leste tentu tidak pas. Tiga skor dibandingkan 9 skor saja. tentu lebih sulit menaikkan skor dari banyak lembaga dengan bermacam metode dan pendekatan.
Membandingkan Indonesia lebih pas dengan negara negara yang memiliki besaran penduduk, ekonomi dan luas wilayah identik. Misalnya Indonesia lebih pas dibandingkan dengan Brazil, Rusia, India, China. Karena besaran negaranya mirip, terutama bila dikaitkan dengan upaya perbaikan apa yang akan dilakukan.Â
Amunisi terakhir tentu tentang penafsiran IPK untuk tindak lanjut perbaikan. Untuk pemerintah daerah dan kementerian lembaga, IPK tidak memberikan panduan apa yang harus diperbaiki dan bagaimana memperbaikinya. IPK tidak secara spesifik menyebutkan lembaga atau pemda yang bertanggungjawab untuk perbaikan skor IPK. Demikian juga pemerintah RI. Tidak memiliki aksi tidak lanjut yang nyata untuk bagaimana memperbaiki IPK. Jadilah ritual ini berlangsung terus. Kaget pada saat pengumuman, tidak ada yang dilakukan secara fundamental, bertemu pengumuman yang sama tahun depat dan kembali  kaget. Demikian sehingga perkembangan IPK kita sulit menembus barrier di skor 40.
Tentu saja ada kelompok yang lain tetap memandang perlu melihat IPK. alat ukur ini sudah digunakan sejak tahun 1995, setiap tahun keluar skor per negara sehingga 180 negara dapat membandingkan dirinya dengan negara lain karena konsistensi skor ini. Skor ini juga dijadikan rujukan oleh para investor terutama asing untuk menilai resiko berbisnis di Indonesia. Korupsi yang tinggi di suatu negara tentu menimbulkan ketidakpastian. Hal yang sangat dibenci bisnis.Â
Biarpun mahal biaya investasi, bila itu pasti maka investor tinggal menghitung untung ruginya. Biarpun mahal kalau masih untung, maka investasi akan berjalan . Sebaliknya, biarpun disebut murah namun realitasnya mahal bahkan sangat mahal, maka investasi yang masuk adalah investor yang berani menanggung resiko atau ketidakpastian. Praktik korupsi seperti suap untuk investor jenis ini tidak menjadi halangan dalam berbisnis. Dengan resiko korupsi tinggi maka investor dengan tata kelola rendah yang akan datang. Dalam konteks pencegahan korupsi, investor yang praktek bisnisnya selalu dengan suap misalnya tentu akan membuat pemberantasan korupsi menjadi lebih sulit.Â
Bila IPK ini menjadi salah satu ukuran dalamnya korupsi di Indonesia dan aparat penegak hukum saja yang bertanggungjawab, maka dapat dipastikan upaya peningkatan skor tidak akan terwujud. Korupsi pada skor IPK merupakan hilir dari buruknya tata kelola pada sektor-sektor lain. Jadi kalau hanya aparat penegak hukum yang bergerak, tidak cukup.
Economist Intelligence Unit-EIU country risk rating, mengukur resiko negara setiap bulan dari para kontributor ahli nya. Hal hal yang diukur antara lain rekrutmen PNS kita, independensi badan audit, Independensi peradilan, kebiasaan suap untuk kontrak pengadaan. Skor EIU menunjukkan bahwa beberapa  kementerian/lembaga dan bahkan pemerintah daerah juga harus melakukan perbaikan. Kementerian PAN saat ini sudah memperkenalkan rekrutmen PNS berbasis digital, lebih transparan dan akuntabel. Namun independensi badan audit masih perlu pembuktian. Demikian juga kebiasaan menyuap untuk kontrak pengadaan perlu dihapuskan dengan digitalisasi proses pengadaan melalui e-commerce. Dengan demikian Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah-LKPP yang harus tampil memimpin.