Mohon tunggu...
sudahsore.com
sudahsore.com Mohon Tunggu... Lainnya - Coram Deo

pembayar pajak, rakyat biasa...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Aplikasi untuk Pelayanan Publik, Kenapa Payah ya?

11 Mei 2022   11:16 Diperbarui: 11 Mei 2022   11:23 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

e-government untuk pelayanan publik banyak kita lihat sekarang ini. Wujudnya aplikasi yang memproses permohonan,cek status, bahkan hingga produksi dokumen.  

Di tingkat pemda, malah sudah lebih maju. Kemendagri, dalam rangka pencegahan korupsi, mewajibkan seluruh perijinan pemda disentralisir di Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal-DPMPTSP. Sebagian besar sudah on-line penuh, masyarakat tidak perlu hadir fisik ke pemda. Ini juga berdampak pada kemudahan berusaha.

Pengalaman penulis menggunakan beberapa aplikasi kementerian, bila dibandingkan aplikasi belanja daring misalnya, sangat menarik. Pembuatan paspor on-line penulis gunakan M-Paspor yang dikelola dirjen imigrasi kemenkumham. 

Lalu pelayanan pertanahan melalui aplikasi Sentuh Tanahku. Ini hanya untuk cek status permohonan. Terakhir, perpanjangan STNK melalui aplikasi Signal-Samsat. Tentu saja aplikasi Peduli Lindungi yang pasti digunakan selama pandemi ini berlangsung.

Umumnya aplikasi buatan pemerintah ini tidak memperhatikan calon pengguna. Literasi pengguna dianggap sudah tinggi. Aplikasi Sentuh Tanahku pada bagian komentar mendapat banyak protes karena tidak dapat mendaftar, tidak dapat mengakses. Keluhannya di aplikasi hanya menunjukkan tanda sedang diproses, tanpa ada tanda selesai.

Menanggapi protes ini, admin menjawab bahwa pengguna harus menghapus cache baru akses lagi. Berapa banyak ya pengguna yang tahu arti cache? 

Bagaimana cara menghapusnya? Bagaimana kalau tetap tidak bisa? Semua pertanyaan pengguna awam ini tidak diantisipasi sama sekali. Jadi aplikasi tidak bisa menerima pendaftaran. Sialnya tidak ada alternatif lain untuk cek status permohonan selain datang ke kantor pertanahan langsung.

Perpanjangan STNK dengan aplikasi Signal-Samsat membutuhkan verifikasi KTP dan verifikasi wajah melalui selfie. Hasil verifikasi wajah menunjukkan tidak match. Diulang berpuluh-puluh kali pun demikian. Tidak ada fitur di aplikasi untuk bertanya atau solusi. Alhasil, perpanjangan dilakukan dengan cara lama. Datang ke kantor samsat.

Pembuatan paspor baru dengan M-Paspor lebih baik. Memang mayoritas keluhan pengguna aktivasi melalui e-mail yang tidak berjalan. Karena belum diaktivasi, maka permohonan tidak dapat diproses. Namun terselip satu komentar penggunaan yang merupakan obat manjur. Ternyata M-paspor harus digunakan pada handphone yang sama dengan handphone untuk membuka e-mail. Sesederhana itu solusinya.

Kalau ada fitur upload dokumen dan bermasalah, tidak ada aplikasi yang memberi panduan untuk menyelesaikannya. Ternyata ukuran file dibatasi. Kenapa tidak dicantumkan di aplikasi untuk ukuran file maksimum yang bisa diterima?

Kenapa aplikasi pemerintah ini umumnya dipersepsikan tidak canggih, tidak user-friendly ?  Padahal setiap peluncuran aplikasi pasti seremonialnya meriah.

Pertama, ukuran kinerja untuk pengadaan aplikasi. Seharusnya bukan hanya aplikasi hadir dan berjalan. Sejatinya penggunaan aplikasi untuk mendorong proses yagn lebih cepat, terbuka dan murah. Jadi ukuran suksesnya aplikasi adalah berapa yang menggunakan dibandingkan dengan potensi pengguna. 

Bila jumlah kendaraan 4 juta, jumlah bidang tanah 25 juta, maka kinerja aplikasi ditetapkan sebagai persentase pengguna aplikasi Signal dan Sentuh Tanahku dibandingkan dengan jumlah kendaraan dan jumlah bidang tanah. Bila penggunaan sudah diatas 75% maka digitalisasi benar berjalan efektif. Bukan jumlah yang mengunduh aplikasi.

Kedua, digitalisasi oleh instansi pemerintah dilakukan melalui proses pengadaan barang dan jasa biasa. Tidak ada pengecualian. Padahal jasa untuk pembangunan sistem informasi, digitalisasi proses bahkan hingga aplikasi relatif unik. Teknologi berkembang cepat demikian juga SDM pelaksananya. 

Padahal pengadaan harus sangat rigid, ketat dan detail. Dengan demikian hampir tidak ada ruang untuk fleksibilitas atau modifikasi ketika pelaksanaan. Dengan perubahan teknologi, bisa jadi aplikasi yang dibangun segera menjadi kuno.

Ketiga, ketika start-up companies dapat memobilisasi tenaga pemagang-intership baik mahasiswa maupun sarjana untuk pembangunan,pemeliharaan dan perbaikan sistem, lembaga pemerintah tidak punya mekanisme ini. Jadi pengadaan harus memilih perusahaan dengan daftar SDM yang diusulkan. Demikian juga harga jasa yang harus dikompetisikan antar vendor. 

Padahal seperti hukum alam, ada harga ada rupa. Tenaga yang berkualitas biasanya mahal harganya. Jadi tidak mungkin mendapat tenaga IT yang super dengan harga yang murah.

Terakhir, pejabat pemerintah yang mengurus digitalisasi tentu sudah senior, Mereka pasti tidak lahir di alam digital. Jadi jarang menggunakan aplikasi sehari hari. Tentu pola pikir digitalpun belum ada. Ini yang membuat aplikasi tidak pernah diuji sendiri dan diidentifikasi kekurangannya, apalagi dibandingkan dengan aplikasi komersial lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun