Korupsi vs Teknologi; untuk pengedalian minyak goreng
Kita terkejut sewaktu pejabat Kementerian Perdagangan bersama dengan swasta ditetapkan jadi tersangka oleh Kejaksaan Agung. Padahal kementerian ini yang justru harus bertanggungjawab mengurus distribusi minyak goreng. Agar produknya cukup tersedia di pasar dan dengan harga yang rasional. Jadi selain kinerja kementerian yang buruk, ditambah lagi dengan oknum pejabatnya yang diduga korupsi.
Selama ini impor komoditi pangan lah yang diduga menjadi lahan korupsi. Dengan kuota yang terbatas dan konsumsi yang pasti, maka siapapun importirnya akan mendulang laba. Namun tanpa diduga, ijin ekspor pun ternyata menjadi lahan yang subur bagi kolusi birokrasi dan pengusaha.Â
Terutama ekspor dalam kondisi saat ini yaitu ketika harga komoditi di luar negeri melambung tinggi, yang membuka peluang laba bagi produsennya. Padahal di sisi lain, produsen memiliki kewajiban memasok ke pasar dalam negeri-DMO dengan harga yang ditetapkan. Kolusi diduga dilakukan untuk memuluskan ekspor. tanpa pemenuhan 25% DMO dan harga produk dalam negeri.
Menindaklanjuti krisis minyak goreng yang berkepanjangan, maka Langkah drastis perlu diambil langsung oleh Presiden. Dengan 50 juta ton produksi CPO se Indonesia per tahun, secara substantif hanya digunakan untuk 3 hal besar. Pertama ekspor CPO-dengan harga yang tinggi saat ini, diproyeksikan 30 juta ton. Untuk pembuatan biodiesel, menyerap CPO sebesar 16 juta ton per tahun.Â
Sisanya, untuk minyak goreng sekitar 4 juta ton. Produksi minyak goreng dilakukan oleh perusahaan independen dan perusahaan yang terafiliasi dengan produsen CPO. Minyak goreng didistribusikan ke konsumen melalui berbagai jenjang atau layer distribusi.
Teknologi informasi dapat digunakkan untuk pencegahan korupsi. Perijinan manual yang diganti dengan sistem on-line, langsung dapat mencegah korupsi berupa suap. Karena transparan, murah dan cepat. Â Teknologi juga sangat bisa digunakan untuk perbaikan tata niaga CPO termasuk produk turunannya.
Produsen CPO se Indonesia perlu diwajibkan untuk menghubungkan kuantitas produksi hariannya dalam satu platform data bersama. Tujuannya memantau produksi CPO per hari real time.Â
Ekspor CPO melalui pelabuhan laut sudah dalam sistem Inaportnet saat ini. Jadi tinggal menghubungkannya ke platform tadi dan kuantitas ekspor dapat diketahui dari setiap produsen. Bila CPO digunakan untuk produksi biodiesel,maka kuantitasnya terhubung ke dalam platform ini.Â
Terakhir, ketika CPO digunakan untuk produksi minyak goreng, baik oleh perusahaan sendiri maupun perusahaan independen, tinggal mewajibkan mereka semua untuk masuk dalam platform pemantauan secara real time. Bahkan ketika pabrik menjual ke distributor besar pun dapat diwajibkan agar distributor menghubungkan kuantitas yang diterima dan dikeluarkan dalam platform tadi.
Dengan sistem berbasis teknologi informasi ini, maka transparansi produksi CPO dan penggunaannya dapat membentuk semacam neraca. Tracking kuantitas CPO dapat dilakukan secara cepat. Sehingga bila data tidak sinkron, maka dapat diidentifikasi segera dan dimitigasi.Â