Mohon tunggu...
Pagar Sianipar
Pagar Sianipar Mohon Tunggu... -

Saya berprofesi sebagai guru sejarah di SMAK 5 Penabur Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kompromi Politik, Politik Kompromi

6 Januari 2016   14:50 Diperbarui: 6 Januari 2016   15:24 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompromi Politik, Politik Kompromi

Harapan publik sangat besar bagi Presiden Joko Widodo yang terpilih melalui pemilu langsung tahun 2014. Joko Widodo yang lebih sering disapa Jokowi sebagi presiden pilihan rakyat secara langsung yang kedua setelah Presiden Soesilo Bambang Yudhono. Ia terpilih untuk periode 2014-2019. Masalah-masalah kehidupan bangsa yang rumit menanti seperti infrastruktur dan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan, pemberantasan dan pencegahan korupsi, penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu, reformasi birokrasi—tata kelola pemerintahan pusat dan daerah, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan yang tidak kalah pentingnya reformasi dan restrukturisasi partai politik. Namun, harapan publik yang besar itu sulit untuk direalisasikan jika Jokowi hanya dalam jangka waktu lima tahun saja.

Cakupan kekuasaan Presiden Jokowi sekarang pun terbatas padahal masalah kehidupan bangsa kita sangat banyak dan multidimensional.[1] Cakupan kekuasaan Jokowi terbatas dalam sistem pemerintahan presidensil yang menganut prinsip pembagian kekuasaan. Presiden harus bekerja sama DPR dalam memutuskan kapolri, ketua komisioner KPK, hakim agung, dan berbagai jabatan strategis lainnya. Presiden yang punya hak preriogratif dalam menyusun kabinetnya pun tidak bisa berdaulat sepenuhnya. Ia hanya kader partai yang “ditemukan di simpang jalan”—tidak dipersiapkan. Ia bukan pemilik partai atau ketua partai yang dapat memiliki posisi tawar politik yang kuat.

Realitas Politik dan Kompromi Politik

Jokowi tidak dapat menghindari kompromi politik ketika berhadapan dengan realitas politik. Koalisi Indonesia Hebat tidak melebihi lima puluh persen suara di DPR-RI. Hubungan kekuasaan lembaga DPR terhadap eksekutif semakin kuat sejak amandemen UUD 1945 hingga empat kali pada 1999, 2000, 2001, dan 2002. Jokowi berupaya menghadirkan tim kabinet yang kuat, tetapi ia harus mengakomodasi kepentingan partai-partai pendukung pemerintah. Realitas politik itu terjadi karena Partai PDI-P yang mengusung Jokowi hanya memperoleh 19,2% pada pemilu 2014. Partai PDI-P dapat mengusung capres dan cawapres sendiri tanpa berkoalisi jika memiliki suara 20% sesuai konstitusi.

Istilah “pejabat partai” yang sempat terlontar dari pidato ketua umum PDI-P Megawati Soekarnoputri adalah pertanda hubungan kekuasaan Jokowi selaku presiden seolah-olah tidak dapat berdaulat sepenuhnya dalam memutuskan beberapa keputusan strategis. ”Dalam suatu hubungan kekuasaan (power relationship) selalu ada satu pihak yang lebih kuat dari pihak lain. Jadi, selalu ada hubungan tidak seimbang atau simetris. Keseimbangan ini sering menimbulkan ketergantungan (depency); dan lebih timpang hubungan ini, lebih besar pula sifat ketergantungannya.”[2]

Hubungan kekuasaan yang timpang antara Jokowi dan partai-partai pengusung tampak dalam penyusunan kabinet. Sebelumnya Jokowi telah mempublikasikan jargon “koalisi tanpa syarat”. Setahun pemerintahan Jokowi banyak dipenuhi kegaduhan politik. Kegaduhan politik bukan hanya karena hubungannya dengan partai pengusung dan partai yang tidak duduk di kursi kabinet. Kekuasaan presiden yang terbatas sekali pasca reformasi masih akan sulit melakukan beberapa perubahan yang melibatkan banyak kepentingan. Sebagai satu contoh Presiden Jokowi mengusulkan calon kapolri kepada DPR, tetapi dia sulit memilih calon kapolri yang sangat ideal—jujur dan berani. Seperti yang nasehat Syafi’i Maarif kepada presiden, “Pilihlah calon kapolri yang paling sedikit dosanya!” Presiden memang berdasarkan konstitusi hanya dapat memilih kapolri dari jajaran kepolisian berbintang dua. Kalau saja presiden dibolehkan memilih kapolri dari perwira menengah yang jujur dan berani, lembaga kepolisian dapat direformasi total. Korupsi di tubuh kepolisian bukan hanya di tingkat transaksi kasus, tetapi juga dimulai dari proses perekrutan calon polisi. Bukankah kepolisian bertanggung jawab langsung kepada presiden? Presiden seharusnya berdaulat penuh memilih kapolri yang sangat ideal.

Menyiasati Jebakan Politik Kompromi

Kompromi politik adalah suatu kiat ketika menghadapi realitas politik. Koalisi parpol jangan sampai membuat pemerintah eksekutif maupun legislatif terjebak dalam politik kompromi yang mengabaikan akal sehat dan mengingkari kebenaran seperti permufakatan jahat para elit partai dalam kasus “papa minta saham”. Mantan Ketua DPR Setya Novanto yang terbukti menggadaikan kesetiaannya pada konstitusi demi keuntungan pribadi dan kelompok masih bercokol di DPR dan bahkan tukar guling menjadi ketua fraksi. Penulis tidak kaget karena partainya telah menumpahkan uang sangat banyak untuk dapat membeli kemenangan di pilpres. Skandal “papa minta saham” adalah siasat untuk mengembalikan modal atau bahkan bila perlu meraih modal plus laba.

Dugaan yang menilai Jokowi adalah presiden prematur sungguh naïf. Tuduhan itu terlalu berlebihan. Bukankah dalam demokrasi yang efektif seharusnya mempromosikan orang yang telah terbukti punya kapasitas kepemimpinan yang memadai. Bukankah dua presiden Amerika Serikat sebelum Obama merupakan gubernur negara bagian. Obama juga memiliki karier politik yang gemilang. Lalu, bukankah jika PDI-P tetap mencalonkan Megawati, kubu Prabowo hampir dipastikan meraih kemenangan karena Megawati bukanlah lawan seimbang—ia telah gagal dalam pilpres 2004 dan 2009.

Yang paling mendesak sebenarnya mendorong Jokowi agar tetap berani mengambil keputusan secara otonom tanpa harus terjebak politik kompromi demi tercipta stabilitas politik. Menjadi Presiden Jokowi yang tidak memiliki basis politik yang kuat memang tidak mudah. Isu perombakan kabinet kerap berhembus padahal kabinet baru berjalan seumur jagung. Kabinet adalah domain kekuasaan Jokowi, tetapi dia pun tak berdaya karena desakan politik partai pendukung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun