Seperti namanya, di vihara ini terdapat 500 patung lohan sebesar postur tubuh manusia yang masing-masing memiliki karakteristik dan mimik wajah yang berbeda.Â
Semua patung memiliki ciri khasnya sendiri, tak ada dari satupun patung yang memiliki bentuk atau ciri khas yang sama. Lokasi vihara yang berada di atas perbukitan menambah suasana menjadi kian ciamik diwarnai lapisan batu berwarna abu-abu menjadi tembok mengelilingi vihara.
Perjalanan tak berhenti disitu saja, lanjut di siang hari hujan datang saat mobil melewati luasnya kebun sawit yang tiada batasnya hingga akhirnya muncul warna biru kelautan tanda sudah sampai di pesisir timur Pulau Bintan. Walau hujan menghadang, ombak tampak tenang seakan memanggil saya untuk turun dan bermain. Bahkan saat turun, hujan berhenti dan memberikan kesempatan untuk menepi.Â
Destinasi kedua ini bernama Pantai Trikora. Sebuah pantai berpasir putih di timur Bintan yang bertugas memecah ombak arus Natuna. Pemandangan Trikora dihiasi dengan air berwarna biru yang ditemani dengan pulau-pulau kecil dan kelong apung, sebuah rumah kayu mengambang yang merupakan tempat nelayan ikan bilis singgah dan menyimpan hasil tangkapan mereka. Karena sangat panjang pesisirnya, Trikora terpecah menjadi lima pantai.Â
Di samping itu juga banyak resor yang membentengi pesisir, membentuk wilayah mereka sendiri. Saya pun banyak mendengar hal baru dari sini, seperti adanya bisnis kawasan turis yang hanya memperbolehkan dimasuki orang asing saja, sedangkan pribumi dilarang untuk masuk. Â
Ada pula kawasan yang digunakan khusus untuk pekerja asing dari negara tertentu. Walaupun demikian, masih ada destinasi wisata di daerah timur Bintan yang bisa dinikmati bersama. Masih terdapat resor yang terbuka untuk dinikmati siapa saja. Yang jelas masih terdapat pantai umum yang dibuka bagi masyarakat sekitar.Â
Di hari libur panjang seperti kemarin pun, keadaan pantai tetap dipenuhi dengan keramaian anak-anak bermain air bersamaan dengan nikmat terik matahari yang tak mungkin saya dapatkan di Jakarta.
Sayang sekali karena cuaca kembali hujan deras lagi, kembali adalah satu-satunya solusi. Kali ini melewati sebuah daerah bernama Kijang. Sebuah daerah di Bintan yang terkenal dengan otak-otak ikannya. Berbeda dengan otak-otak di Pulau Jawa, otak-otak di sini dilapisi dengan daun kelapa sebelum akhirnya dibakar menghasilkan cita rasa nikmat dengan tekstur otak-otak sotong yang segar dan padat ketika disantap.Â
Menurut masyarakat Bintan, daerah Kijang juga merupakan salah satu daerah dengan tingkat indikasi banjir rob yang tinggi di sekitar Bintan. Banjir biasanya muncul di saat musim penghujan yang biasanya muncul di akhir tahun. Tingkat curah hujan yang tinggi dan seiring dibangunnya pabrik dan gudang di pesisir daerah tenggara Pulau Bintan itu membuat daerah ini tak luput dari daerah banjir beberapa tahun terakhir.
Perjalanan hari itu diakhiri dengan memakan mi tarempa. Sebuah hidangan khas Kepulauan Riau khususnya wilayah Anambas yang dihidangkan bersama dengan suiran ikan tongkol. Rasanya yang asam dan manis ini dengan mi yang berbentuk lebar menutup hari mengesankan itu.