"Berkelompok, keterbukaan dan menang adalah suatu hal yang baik. Mereka simbol aktif. Tapi tidak selamanya baik. Makanya ada sukun; diam. Diam biasanya dianggap tidak berdaya. Diam dianggap pasif. Padahal demi kedamaian dan ketentraman diam bisa menjadi pilihan terbaik. Coba kalau dua kelompok di negeri kita belajar tidak menanggapi berita. Keduanya diam. Negara ini gak akan sepanas seperti sekarang."
"Tapi kalau diam, dianggap Abu-abu, Bah?" Sanggah Sukun.
"Oleh siapa?"
"Oleh kedua kelompok. Kelompok yang satu bilang, bahwa yang demikian munafik. Yang satu bilang tidak mempunyai rasa kebangsaan."
"Itu poin nya. Saat Abah masih ngajar di sekolah SD dulu. Ada dua anak yang berantem. Abah lerai keduanya. Kedua anak yang masih ingusan itu tidak terima. Yang satu membela diri dengan nafas naik turun karena emoasi. Ia yakin bahwa dia yang benar. Anak satu lagi berteriak-teriak sambil menangis bahwa kawannya yang salah. Abah tidak membela salah satu dari mereka. Apa yang terjadi? Keduanya malah marah ke Abah. Mereka bilang Abah guru tidak adil. Abah guru tidak bisa objektiv. Begitulah anak kecil. Ingin selalu ada pembelaan. Mereka akan menyalahkan orang yang tidak membelanya. Betul tidak?" Abah mengakhiri kalimat panjangnya dengan pertanyaan. Sambil melihat Sukun.
Sukun hanya tersenyum menyadari sesuatu dan berucap, "iya ya, Bah."
"Coba kalau waktu itu Abah ikut membela yang satu dan membantu berantem dengan yang satu lagi. Apa kata para orang tua? Atau Abah mencari anak lain untuk dipersalahkan dengan tuduhan dia mengadu domba? Padahal Abah tidak mengetahui dengan pasti. Kalau demikian Abah tidak jauh beda dengan anak-anak ingusan itu. Abah yang sudah dewasa tentu gak mau terpengaruh dengan pikiran dan nafsu anak kecil."
Abah mengambil nafas dalam dan mengeluarkannya dengan begitu lembut. Lalu ia berkata, "kamu faham?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H