Sukun berhenti sejenak mengambil nafas. Abah dengan khusuk mendengarkan ucapan anak kebanggaannya, sambil kepalanya manggut-manggut. Abah tampak setuju dengan apa yang diutarakan Sukun. Abah tidak menyela. Abah berusaha menjadi pendengar yang baik. Abah tidak mau mengambil waktu Sukun untuk berbicara.
"Sukun mempunyai akar yang sama dengan sakinah. Sukun bukan hanya membuat hurup menjadi mati. Namun sengaja hurup itu dimatikan agar sebuah kata jadi indah. Tanpa sukun maka kalimat arab menjadi ganjil. Selain itu kalau tidak ada sukun, maka orang tidak bisa membedakan sakana dan sakan misalnya. Orang akan tahu mana kata kerja mana kata benda karena kehadiran sukun. Orang menjadi faham makna sebuah kata dengannya," lagi-lagi sukun memberi jeda penjelasannya.
"Dengan keindahan kalimat dan fahamnya orang dengan keberadaan Sukun, maka jelaslah hadirnya Sukun untuk memberikan ketentraman." Pungkas Sukun sambil merasakan ada ruang yang begitu luas di dalam dadanya.
Abah menyeruput kopi yang tinggal satu teguk lagi. Lalu membersihkan sedikit ampas yang nyangkut di sisa gigi dengan lidahnya. Kemudian Abah tersenyum. Puas.
"Ada lagi selain itu, terutama hubungannya dengan ucapan kamu di awal?" Tanya Abah.
Kalau Abah tersenyum kecil, Sukun tersenyum lebar. Ia merasa bangga bisa memecahkan rahasia besarnya. Namun mendengar pertanyaan Abah, Sukun tidak bisa menutupi kekagetannya. Berarti pertanyaan Abah tentang namanya adalah jawaban tentang ucapannya; negara Indonesia yang sedang diadu domba.
"Dimana hubungannya?" Pikir Sukun. Otaknya berlari-lari mencoba menemukan tali pengetahuan untuk bisa mengubungkan Sukun dengan Devide et Impera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H