"Bukankah  kamu bertahun-tahun menggeluti Ilmu Nahwu?" Abah malah bertanya. Serius  tapi wajahnya memancarkan keteduhan. Sama seperti waktu-waktu Abah  menemani dan mengajak main Sukun kecil. Efeknya rasa tenang dan damai  merasuk ke jiwa Sukun. Sukun akan selalu bisa terbuka dengan Abah  tentang apapun.
***
Sukun  masih ingat saat pulang dari pesantren, ia mengajak Abah diskusi yang  sangat penting dalam hidupnya. Ia ingin menyelamatkan kehidupan Abah.  Abah sudah salah jalan. Keluarga Abah Tersesat. "Ini adalah saat tepat  mengamalkan 'quu anfusakum wa ahliikum naaroo'," pikirnya dengan  menyitir sebuah ayat.
"Abah  ini masih Kafir. Abah belum Islam. Yuk Bah, kita masuk Islam". Setelah  prolog yang rada sulit, akhirnya Sukun sampai pada tujuan inti dari  diskusi sore itu di ruang tamu. Waktu itu ia duduk di kelas 2 SMP. Ia  ingat betul, waktu itu, Abah sedang menelaah dua kitab; Nailul Author  dan Kifayatul Akhyar.
Tampak  sekali Abah kaget mendengarnya. Bukan marah, tapi ada khawatir  menggelayut di wajah Abah. "Abah kan sudah Islam. Asyhadu Allaa Ilaaha  Illalloh Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rosululloh," jawab Abah sambil baca  dua kalimah syahadat, "jelaskan ke Abah dimana letak salahnya Islam  Abah!" Pungkas Abah sambil hatinya bergetar. Sekali lagi bukan karena  emosi. Tapi karena rasa sayang yang hakiki kepada anak tunggalnya tidak  bisa disembunyikan lagi.
Tidak  ada data dan referensi hasil analisa sendiri yang bisa Sukun jadikan  hujjah saat itu. Dulu, Sukun bukan Sukun yang sekarang. Tepatnya Sukun  dulu belum menguprade dirinya menjadi Sukun yang ucap dan tidakannya  merupakan kristalisasi pertempuran data dan hujjah dalam pikirannya.  Namun ia bisa menggunakan dasar-dasar yang digunakan oleh seniornya saat  mencekoki dirinya tentang sebuah 'hijrah kaffah'.
Seniornya  ini terpaut 5 tahun lebih tua darinya. Sang senior sudah duduk di  bangku kelas akhir SMA. Seniornya ini menjadi teman ngobrol dari candaan  sampai obrolan yang serius bagi Sukun. Begitupun sebaliknya. Pembedanya  adalah seniornya lebih banyak pengalaman. Yuswandi nama si senior.
Sukun  tidak banyak tahu asal-usul Yuswandi. Yang ia tahu, Yuswandi adalah  kakak kelas yang pinter, baik, dan enerjik. Satu lagi, ia teman main  catur yang tangguh. Walaupun dalam hal ini, Sukun lebih unggul.
Sukun  menjelaskan kepada Abah apa yang disampaikan oleh Yuswandi, bahwa Islam  itu ada dua; Islam Tuntunan dan Islam Turunan. Yang pertama mengikuti  ajaran Nabi. Yang kedua hanya sebuah warisan.
===
"Yang  benar adalah yang pertama. Yang kedua hakikatnya masih kafir. Masih  dalam keadaan Jahiliyyah," ucap Yuswandi dengan sangat serius. Sukun  ingat obrolan itu terjadi pada jam 2 malam di kamar no 4. Setelah mereka  dibagunkan oleh jam waker kecil untuk sholat tahajjud. Masa itu belum  seperti sekarang dimana HP sudah menjadi barang biasa yang dimiliki anak  sekolah.
"Di  Indonesia, banyak mana antara Islam tuntunan atau Islam Turunan?" Di  usia 14 tahun, Sukun berusaha memunculkan daya berpikir kritis. Hanya  sebatas defensif, ia tidak bisa melakukan counter attack atas  serangan-serangan bertubi-tubi dari berbagai lini.
Sang  senior cerita pengalaman dirinya yang sudah masuk sebuah gerakan suci.  Gerakan bawah tanah dalam mengislamkan orang Islam. Ia cerita bahkan  kantornya berhadapan dengan kantor kepolisian. Ia mengingatkan ketika  sudah berbaiat maka hakikatnya kita sedang berjuang, seperti perjuangan  Rosul dan Sahabat Mekkah saat pertama hijrah ke Madinah. Ia mengingatkan  bahwa Alloh pasti akan menjadi penolongnya. Buktinya aktivitas mereka  tidak terendus oleh penegak hukum. Ia menambahkan, seperti hal  perjuangan awal Rosul, kelompok mereka masih sedikit.
Tambah  Yuswandi bercerita, Sukun menjadi tambah tidak mengerti. Ada logika  yang salah dalam cerita-cerita dan penjelasan seniornya. Namun, ia tidak  punya amunisi apapun untuk menangkal rudal-rudal yang ditembakkan Kakak  kelasnya itu. Ia hanya bisa berusaha menghindar agar selamat dari  serangan lawan bicaranya, "Terus, bagaimana kalau saya tidak ikut  baiat?" Pertanyaan cukup cerdas yang bisa mengembalikan kepercayaan  diri. Kalau dalam main catur, mengorbankan Fatih pun gak masalah, yang  penting raja musuh tertangkap.
"Ya, berarti tidak masuk Islam Tuntunan. Berarti kamu masih kafir," jawab senior merasa menang.
Walaupun  belum banyak belajar tentang tafsir, hadits, sejarah dan kajian  keislaman lainnya, Sukun adalah anak yang sudah dilatih berpikir kritis  oleh Abah di rumah. Ia selalu belajar melaah keselerasan antara satu  kalimat dengan kalimat yang lain yang diucapkan seseorang. Ia diajarkan  melihat hubungan sebuah kalimat dengan konteks kehidupan. Ia belajar  keras untuk bisa memahami kesingkronan kalimat dengan logika berpikir.  Yuswandi tidak menyadari pertanyaan-pertanyaan Sukun bukan sebagai  konfirmasi kesetujuannya. Namun ia ingin melihat sekuat apa dasar yang  disampaikan Yuswandi.
Pertanyaan  itu merupakan jurus pamungkas sebetulnya. Kalau bisa nebak arah  pertanyaan itu, mungkin Yuswandi tidak akan menjawab seperti tadi.
"Kalau  begitu, bagaimana dengan Pak Kiayi kita? Bagaimana dengan ustadz-ustadz  di pesantren kita? Mereka kan tidak pernah dibaiat. Apakah kamu berani  mengatakan mereka juga Kafir? Kalau mereka kafir, kenapa kamu belajar  Islam dari orang-orang kafir?"
Mendengar  pertanyaan bertubi-tubi, Yuswandi baru paham bahwa Sukun masih cukup  terjal untuk ia panjat. Ia bisa menghitung apa yang akan Sukun lakukan  kalau ia teruskan obrolan malam itu. Apalagi tentang kiayi, guru-gurunya  dan pesantrennya. Ia memutuskan untuk mengakhiri obrolan malam itu  dengan mengajak tidur kembali sampai fajar menjemput.
===
Mendengar  argumen-argumen Sukun dan cerita sukun tentang Seniornya, Abah tampak  lebih tenang sekarang. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari anakku,  Alhamdulillah." Ucap Abah dalam hati.
"Kamu yakin, Abah Kafir?" Tanya Abah menguji Sukun.
"Saya  tidak yakin bahwa Abah Kafir. Tapi aku tidak bisa menemukan kesalahan  dalam argumentasi-argumentasi si Yuswandi, Bah." Jawab Sukun meminta  belas kasihan Abah agar menyelesaikan masalah kegundahan pikir dan  hatinya.
Alih-alih  menjawab, Abah malah bilang, "Justru, kamu Abah pesantren agar kamu  mencari. Kamu baru mencicipi baunya khazanah Islam. Nanti kalau kamu  sudah paham dan kamu yakin, bahwa Abah kafir. Datang dan sampaikan lagi  ke Abah." Pungkas Abah waktu itu.
***
"Betul,  Bah. Saya mencoba mendalami Nahwu. Hanya tetap saja, tidak banyak yang  bisa didapat untuk membongkar nama Sukun. Kecuali yang disampain Ustadz  Rafa," jawab Sukun. Saat kecil ia pernah mengeluhkan sikap ustadz  Nahwunya yang menjelaskan Sukun nama yang tidak baik. Dan Abah hanya  senyum-senyum saja. Seperti tidak tersinggung bahwa idenya dalam  memberikan nama anak sudah disepelekan.
"Oh iya Bah, kalau boleh request saat pertama lahir, saya mau nama Fathah atau Rofa."
"Memang kenapa?" Tanya Abah.
"Fathah  kan dari Fathun; membuka. Harapannya saya bisa menjadi pioneer dalam  kebaikan. Untuk Rofa bolehlah Abah sedikit indonesiakan menjadi Rafa;  maknanya tidak jauh dari mengangkat, naik, tinggi. Harapannya saya jadi  orang yang berkedudukan tinggi. Itu yang dulu saya dapat. Saya tidak  bisa menemukan kebaikan Sukun. Justru kebaikan-kebaikan yang lain yang  saya bisa temukan."
"Bagus itu," Timpal Abah.
"Maksudnya?" Sukun tidak mengerti dengan respons Abah.
"Umumnya  manusia lebih mudah mencari kelemahan orang lain daripada dirinya  sendiri," Abah berhenti sejenak untuk menyeruput kopi hitam kental yang  sudah dingin, "Mengetahui kelemahan pribadi sama penting dengan  mengetahui kelebihan pribadi. Namun mengetahui kelemahan orang lain  tidak lebih penting dari mengetahui kelebihan mereka." Lanjut Abah.
"Bah,  jadi apa sebetulnya filosofi menamakan saya Sukun?" Hati Sukun mulai  tidak tenang. Hatinya ingin segera berlari mendahului waktu, agar  mengetahui apa yang akan Abah ucapkan. Abah dari tadi tidak memberikan  jawaban. Abah malah bertanya dan bertanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H