Mohon tunggu...
Saprudin Padlil Syah
Saprudin Padlil Syah Mohon Tunggu... profesional -

Visit me on padlilsyah.wordpress.com I www.facebook.com/Padlil I\r\n@PadlilSyah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

PPG: Kebijakan Cacat Moral dan Tidak Ilmiah

21 Maret 2014   20:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:39 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama kali mendengar isu akan adanya pendidikan –yang kemudian hari dikenal dengan Pendidikan Profesi Guru (PPG)- bagi setiap orang yang ingin menjadi guru professional adalah pada 27 Februari 2006. Saat seorang pejabat fakultas berbicara di depan penulis dan puluhan mahasiswa Fakultas Pendidikan yang baru selesai ujian skripsi (di kampus penulis istilahnya munaqosah). Mendengar penjelasan dari sang dosen, penulis merasa ada suatu kejanggalan dengan rancangan kebijakan tersebut. Waktu itu penulis hanya berpikir, kalau kebijakan itu terjadi maka fakultas pendidikan tidak ada ‘wibawanya’ lagi.

Saat itu penulis memprediksi akan banyak praktisi pendidikan (dosen, dekan, para pejabat fakultas pendidikan dan orang yang berkepentingan) turun tangan untuk menolak rancangan kebijakan ini. Namun fakta berbicara lain. Kejanggalan yang penulis maksudkan adalah seolah kebijakannya dibuat tidak berdasarkan kerangka berfikir ilmiah. Agar lebih jelas, mari kita telaah;

1.Dengan adanya PPG, Fakultas Pendidikan dan Non-FKIP dianggap sama. Kalau demikian logika yang dibangun, kemudian apa manfaat dan urgensi keberadaan Fakultas Pendidikan? Kalau alumni Fakultas Pendidikan yang sudah belajar tentang ilmu pedagogik, metodologi dan hal-hal yang berhubungan dengan pengajaran dan kependidikan dipersamakan dengan non-FKIP yang tidak pernah mempelajarinya, maka logika apa yang gunakan?

Secara tidak langsung pemerintah sudah menganggap bahwa Fakultas Pendidikan di Indonesia selama ini tidak menjalankan tugas yang semestinya. Dengan kata lain, Pemerintah sudah menilai keberadaan Fakultas Pendidikan hanyalah benalu di dunia pendidikan Indonesia. Maka tidakkah lebih baik Fakultas Pendidikan dihapuskan di Indonesia?

2.PPG adalah kebijakan pemerintah yang merendahkan dan melecehkan Fakultas Pendidikan. Ada waktu tujuh semester mahasiswa Fakultas Pendidikan untuk mempelajari tentang semua hal yang berhubungan dengan pengajaran dan keguruan. Lantas harus mengikuti kuliah lanjutan untuk menjalankan profesinya. Pertanyaannya buat apa ada nama Fakultas Pendidikan?

3.Guru seharusnya adalah prorfesi yang mulia. Orang yang berniat menjadi guru adalah orang mempunyai cita-cita dan tekad yang kuat untuk menjadi guru. Orang yang berminat dan bercita-cita dari menjadi guru pasti memilih Fakultas Pendidikan. Dengan kebijakan PPG diberlakukan untuk non-FKIP berarti pemerintah memberi kesempatan bagi orang-orang yang tidak punya kualitas untuk menjadi guru; tidak punya kualitas dari sisi niat dan tidak punya kualitas dari sisi bidang keilmuannya.

Penulis katakan tidak punya kualitas, karena dengan memilih non-FKIP, sejak awal mereka tidak berniat dan berminat menjadi guru. Setelah lulus kemudian mereka kalah bersaing di bidangnya, akhirnya memilih menjadi guru. Kalau demikian adanya, maka mereka yang menjadi guru adalah yang keilmuannya dibawah rata-rata. Bahkan bisa dikatakan kualitas kelimuan dan keguruannya lemah.

Sekali lagi, Seharusnya seseorang yang memang berniat dan berminat menjadi guru, sejak awal ia akan memilih Fakultas Pendidikan. Ini sebagai bukti tekadnya kuat (panggilan jiwa) dan bahkan berani berkorban untuk mejadi guru. Mereka tidak oportunis, memilih Non-FKIP agar banyak peluang kerja, namun setelah kesulitan dan dan kalah bersaing di bidangnya, mereka banting setir menjadi guru.

4.Kalau ternyata PPG itu sebagai respon dari tidak berkualitasnya Fakultas Pendidikan di Indonesia selama ini yang menghasilkan guru asal-asalan, maka caranya bukan dengan ‘melelang’ profesi guru. Siapapun boleh, yang penting mau dan ‘butuh’. Namun seharusnya pemerintah membuat aturan yang kuat dan bermutu tentang pendirian Fakultas Pendidikan. Tidak seperti sekarang, dimana-mana menjamur Fakultas Pendidikan, bahkan bukan rahasia lagi banyak Fakultas Pendidikan yang hanya menjual ijazah saja.

Selain itu rekrutmen calon mahasiswa Fakultas Pendidikan pun harus selektif. Misal hanya calon mahasiswa yang 10 besar di sekolah yang boleh mendaftar di Fakultas Pendidikan. Hanya calon mahasiswa yang nilai ujian negaranya tinggi yang boleh mendaftar. Setelah itu lakukan penyaringan yang benar dan berkualitas. Jangan sampai testingnya sekedar formalitas, namun penyaringan dilakukan dari awal dari sisi kognitif, afektif dan psikomotoriknya.

Dengan logika yang penulis sampai diatas, maka seharusnya pemerintah merevisi kebijakan PPG yang ada dan membuat kebijakan salah satu dari tiga poin berkut; 1. PPG diselanggarakan, Fakultas Pendidikan dihapuskan, 2. PPG Dihapuskan, Tingkatkan kualitas Fakultas Pendidikan yang ada, 3. PPG dan Fakultas Pendidikan tetap ada namun keberadaan PPG hanya untuk alumni Non-FKIP.

Cacat Moral?

Kalau ternyata kebijakan tidak ilmiah itu tetap dipertahankan, ada kemungkinan kebijakan tersebut cacat moral. Kita semua tahu bahwa Fakultas Pendidikan adalahfakultas terbanyak di Indonesia, banyak kampus-kampus swasta dan kampus-kampus jarak jauh merambah daerah-daerah di Indonesia.

Banyaknya Fakultas pendidikan tentu akan melahirkan banyak alumninya yang ingin menjadi guru ditambah sarjana-sarjana dari fakultas lain. Tentu ini adalah proyek bagi orang-orang dan lembaga-lembaga pendidikan untuk menarik pundi-pundi rupiah dari program PPG. PPG menjadi sekedar proyek bagi kelompok tertentu.

Kalau demikian motivasi lahirnya kebijakan PPG tersebut maka jelas sekali bahwa kebijakan PPG tersebut cacat moral.

Tulisan terkait sebelumnya:

1. FKIP Dihapuskan, Apa yang Terjadi?

2. Fakultas Pendidikan, Fakultas Terburuk?

Follow me @PadlilSyah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun