[caption id="attachment_375619" align="aligncenter" width="624" caption="Desa Sei Limau, Kecamatan Sebatik Barat, Pula Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur adalah salah satu desa yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia. (KOMPAS/PRASETYO EKO PRIHANANTO)"][/caption]
Seorang Anggota Komisi II DPRD Nunukan, Lewi mengatakan, “Dari tiga kelompok desa ini, sekitar 60 persen warganya dari tahun 1965 sampai sekarang eksodus ke Malaysia. Ada keluarga di sana juga mempermudah untuk mendapatkan IC (semacam KTP) karena adanya ikatan keluarga.” Ungkapan anggota dewan itu ditulis dalam kompas.com, Rabu, 12 november 2014. Linknya di sini.
Sebagai seorang WNI, mendengar berita tersebut membuat darah di dalam dada penulis serasa mendidih. Mungkin itu yang disebut darah nasionalime, darah merah putih. Terlebih, keberadaan penulis yang berada di Sabah sedang dalam misi ‘mengindonesiakan’ anak-anak Indonesia di Sabah, Malaysia. Bahkan akhir-akhir ini, berita tersebut berkembang liar menjadi gosip bahwa Malaysia mengokupasi 3 desa di Nunukan. Beritanya di sini.
Kalau benar, maka kejadian tersebut sangat melukai seluruh komponen bangsa Indonesia. Bagaimana tidak? Ada anak bangsa yang tidak mendapatkan haknya dari negara sendiri dan ada wilayah kedaulatan NKRI yang dirampok negara lain. Namun, kita tidak bisa makan mentah-mentah informasi tersebut. Ada beberapa kejanggalan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Hal ini yang membuat penulis mencoba melakukan konfirmasi kepada pihak yang berwenang.
Ada dua poin penting dari informasi yang disampaikan oleh DPRD II Nunukan tersebut.
Pertama, fakta bahwa infrastruktur di daerah Indonesia perbatasan masih sangat minim tidak bisa dibantahkan. Akses transportasi, akses informasi bahkan fasilitas umum yang pokok seperti lembaga pendidikan yang berkualitas, rumah sakit yang representatif masih menjadi PR besar pemerintah Indonesia -daerah dan pusat- adalah benar adanya. Semuanya bisa dilihat dengan mata telanjang.
Kedua, ada beberapa informasi yang perlu mendapatkan klarifikasi. Karena kesalahan informasi atau penyesatan pemahaman -disengaja maupun tidak- bisa menimbulkan efek buruk. Bukan hanya bagi masyarakat Indonesia perbatasan, bahkan masyarakat Indonesia yang sedang berada di Malaysia; tugas belajar, bekerja ataupun hubungan interaksi yang lainnya. Bahkan bisa mengakibatkan retaknya hubungan antar kedua negara yang serumpun. Ini bukan tentang berani atau tidak. Jaman sekarang bukan masanya untuk jago-jagoan. Justru hubungan simbiosis mutualisme sangat diperlukan untuk saling menguatkan kedua negara.
Sekarang mari kita lihat beberapa kejanggalan yang penulis maksudkan;
- Kemudahan menjadi warga Malaysia.
Tidak benar bahwa mendapatkan IC (KTP Malaysia) sangat mudah. Ada persyaratan yang cukup berat dan lama. Seseorang (warga asing) yang ingin mendapatkan IC merah atau Permanent Resident (MyPR) harus menetap di Malaysia selama 5 tahun tanpa keluar ke negara tempat ia berasal. Selain itu, harus ada warga Malaysia yang menjaminnya. Itu adalah syarat yang resmi dan tertulis. Kenyataan di lapangan banyak yang sudah melakukan proses itu, namun mereka tetap sulit mendapatkan kewarganegaraan Malaysia.
- Kondisi 1965 vs 2014
Pada tahun 1965 kondisi perekonomian Indonesia sedang krisis. Pada masa itu, inflasi sangat tinggi bahkan harga-harga barang naik sekitar 500%. Rakyat kesulitan mendapat kebutuhan pokok. Bukan hanya kondisi ekonomi, bahkan perpolitikan di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Kondisi seperti itu dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Tentunya apalagi masyarakat perbatasan, maka sangat wajar mereka mencari tempat yang lebih aman. Dan daerah terdekat yang aman dan mudah dalam mendapatkan kebutuhan pokok adalah wilayah perbatasan Malaysia.
Kita tidak bisa menyamakan kondisi tahun 1965 dengan tahun 2014. Saat ini adalah benar bahwa akses untuk mendapatkan kebutuhan pokok lebih mudah didapat dari Malaysia, tapi hal itu tidak menjadikan alasan para warga di perbatasan Indonesia untuk berpindah. Kepada utusan Konsulat RI Tawau yang sedang melakukan investigasi, camat Lumbis Ogong mengatakan bahwa permasalahan eksodus di Kecamatan Lumbis Ogong pada prinsipnya tidak ada. Adapun masyarakat desa di kecamatan tersebut rata-rata pergi ke Malaysia hanya untuk mengunjungi keluarga, menghadiri undangan kerabat, berbelanja serta mencari nafkah. Kegiatan tersebut sudah menjadi hal rutin mengingat dekatnya letak geografis dan rekatnya hubungan kekerabatan dengan masyarakat setempat yang sudah berjalan beratus tahun.
- Memahami makna eksodus
Istilah eksodus yang digunakan dalam berita kompas.com terkesan seolah-oleh eksodus itu adalah hal yang baru dan hanya terjadi di perbatasan. Padahal eksodus itu bukan berpindah tempat tinggal kemudian pindah kewarganegaraan, tapi keluar dari kampung halamannya untuk bekerja di luar negeri (Malaysia). Pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, perlu tahu bahwa yang keluar dari kampung halamannya untuk bekerja di luar negeri bahkan menetap lama di negara yang dituju bukan hanya warga perbatasan, namun hampir dari seluruh wilayah Indonesia, bahkan dari daerah-daerah yang dekat pusat pemerintahan.
Dian Ratri Astuti, Fungsi Sosial Budaya Konsulat RI Tawau menegaskan, “Sejauh ini dari pendekatan Konsulat RI Tawau dengan Kantor Imigrasi di Lumbis Ogong dan Jabatan Pendaftaran Negara (JPN) Sabah tidak terdapat data adanya permohonan atas MyPR apalagi dalam jumlah besar”.
Eksekutif dan Legislatif Harus Bersinergi
Terus terang, penulis senang dengan adanya berita seperti ini. Semua orang harus sadar bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus benar-benar terwujud, termasuk untuk masyarakat perbatasan. Namun sebagai wakil rakyat, perlu kehati-hatian saat memberikan informasi kepada masyarakat. Jangan sampai berita tersebut tidak berdasar fakta, apalagi berita tersebut bisa menyulut ketidakharmonisan antara dua negara serumpun. Terutama yang bisa mengganggu hubungan antara warga-warga perbatasan.
Dalam sistem pemerintahan Indonesia, eksekutif dan legislatif adalah pemerintah. Memberikan kesejahteraan bukan hanya tugas eksekutif. Legislatif seharusnya mendorong pemerintah untuk melakukan terjadinya aksi. Legislatif bertugas untuk mengawasi apa saja yang dilakukan eksekutif untuk masyarakat. Dalam hal ini, anggota legislatif harus bekerja sama dengan aksekutif untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga Indonesia di perbatasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H