Menurut mayoritas sejarawan, pada bulan Robiul Awwal, Rosulullah Saw, lahir untuk tugas mulia; menyempurnakan Akhlak manusia dan memperbaiki peradaban umat manusia. Momentum kelahirannya tentu bukan hal yang sepele. Momentum kelahirannya adalah momentum yang sangat layak diingat, diingat-ingat dan diperingati. Bukan hanya oleh orang Islam, namun oleh seluruh umat manusia. Namun begitu, kemuliaan beliau tetap tidak surut dari rongrongan bahkan ada yang mempermasalahkan diingat-ingat atau diperingatinya kelahiran beliau. Di saat yang bersamaan, mereka mengingat-ingat kelahiran dirinya, anaknya, bahkan tokoh idolanya. Salah satu kelompok yang tidak mau dan tidak suka kelahiran Rosulullah Saw dan sejarahnya diingat-ingat adalah kaum muslim sendiri.
Pembahasan kali ini saya mulai dari diksi bahasa yang sering digunakan. Khawatirnya, karena berbeda memahami diksi sebuah kata, justru mengaburkan dari esensi pemahaman sebuah pembahasan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Memperingati artinya mengingat, mengenang, memuliakan, merayakan”. Sedangkan Maulid, Milad, Maulud (b. Arab) artinya Kelahiran. Memperingati maulid Nabi sama artinya dengan mengingat (mengingat-ingat) kelahiran Nabi (Muhammad Saw). Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan istilah dalam bahasa Indonesia; Mengingat Kelahiran Rosulullah, Saw.
A. Menelaah Dasar Pengharaman Mengingat Kelahiran Rosulullah
Dalih kelompok yang tidak mau mengingat dan mengenang kelahiran dan sejarah Rosulullah Saw adalah bahwasannya perbuatan itu adalah haram. Karena perbuatan itu teremasuk bid’ah.
Salah satu dasar yang digunakan bahwa mengingat dan mengenang kelahiran Rosulullah Saw adalah haram adalah kaidah ushul fiqh “Asal dari setiap perkara adalah haram”.
Hemat saya, mereka mungkin lupa kaidah ushul fiqh tersebut belum selesai, adapun lengkapnya begini: “Asal dari setiap perkara adalah haram, kecuali ada dalil (dasar) yang menghalalkannya”. Pertanyaannya lalu apa dalil yang menghalalkannya? Saya akan urai pada bahasan “Dasar Mengingat Kelahiran Rosulullah”.
Dasar berikutnya adalah bahwa mengingat kelahiran Rosulullah adalah bid’ah, yang tidak ada di jaman Rosul. Untuk mereka, semua bid’ah adalah sayyi’ah. Lalu mereka mempertanyakan, adakah bid’ah hasanah?
Hemat saya, mari kita sedikit mengingat dan mengingat-ingat sejarah Islam setelah wafatnya Rosulullah, Saw.
Pertama, Sepeninggal Rosulullah, secara aklamasi Abu Bakar didaulat sebagai pengganti Rosulullah (Kholifatur Rosul). Dalam masanya banyak para penghafal Qur’an (khuffad) yang meninggal. Umar bin Khattob memandang keadaan ini (banyak wafatnya khuffad) akan berakibat buruk untuk umat di masa depan. Karena dasar ini, Umar bin Khattob mengusulkan kepada Abu Bakar untuk membukukan Qur’an (membuat sebuah mushaf). Abu Bakar tentu menolaknya, karena menurut Abu Bakar ini adalah perbuatan bid’ah, yang tidak pernah ada pada jaman Rosul. Namun akhirnya Abu Bakar pun menyetujuinya. Setelah itu, mereka berdua datang kepada Zaid bin Tsabit utuk meminta bantuan dalam proses penulisan dan penyusunan mushaf yang pertama kali tersebut. Awalnya, Zaid pun sama menolak dengan alasan itu tidak pernah ada contoh di jaman rosul (bid’ah). Namun akhirnya setelah faham dasar Umar, untuk kemaslahat umat maka Zaid pun setuju. Ingat perbuatan yang mereka lakukan adalah ibadah dan tidak ada di jaman Rosul.
Kedua, Rosulullah Saw, hanya memperbolehkan sahabat menuliskan ayat-ayat Qur’an pada saat beliau masih hidup. Rosulullah melarang para sahabat menuliskan hadits. Kaidah ushul fiqh “Asal dari kata larangan adalah keharaman”. Maknanya haram menulis kata-kata yang keluar dari lidahnya selain Qur’an; Hadits.