Mohon tunggu...
Prasetyo Adi Wibowo
Prasetyo Adi Wibowo Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang yang sedang belajar untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sastra Koran: Kapitalisme dan Idealisme pada Penghibur di Ruang yang Sempit

7 Desember 2022   22:08 Diperbarui: 7 Desember 2022   22:14 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

penyempurna renungan

dan kesatuan Pembawaan 1

...

*potongan cerbung Naga Jawa, Seno Gumira Ajidarma. (16 November 2014, Jawa Pos)

Cerbung silat Naga Jawa di Negeri Atap Langit ini bukan cerita fiksi biasa, tapi berlatar fakta sejarah yang diambil dari berbagai riset ilmiah kitab-kitab kuno abad ke-8 dan 9 di tanah Jawa. Cerbung silat Naga Jawa mengisahkan tokoh pendekar tanpa nama yang melanglang buana.

Peran media massa cetak di Indonesia, khususnya koran, dalam menyiarkan karya dan pemikiran sastra bahkan  jauh lebih besar daripada peran majalah khusus sastra seperti Horison. Untuk buku-buku kumpulan cerpen yang terbit di Indonesia dewasa ini, misalnya, berdasarkan perhitungan kasar, sekitar 80 persen cerpen di dalamnya berasal dari  cerpen yang dimuat di koran. Hanya sekitar 20 persen yang pernah dimuat di majalah dan sedikit cerpen yang belum pernah dipublikasikan. Bahkan banyak buku kumpulan cerpen yang 100 persen cerpen-cerpennya pernah dimuat di koran. Sementara, untuk buku-buku kumpulan puisi penyair ternama, rata-rata sekitar 60 persen pernah dimuat di surat kabar

Berpijak dari adanya eksistensi dan dominannya peran koran sebagai media bersastra, maka sebenarnya sastra Indonesia lebih merupakan sastra koran bukanlah sastra majalah,  bukan juga sastra buku, mengingat sebagian besar karya sastra Indonesia yang dibukukan adalah karya-karya yang lebih dulu dipublikasikan di koran, dan koran kecil (tabloid). Kehadiran koran dan media cetak memang turut punya andil dalam membesarkan nama-nama satrawan. Sebut saja koran Kompas yang kini telah menjadi tujuan utama para penulis untuk berlomba-lomba agar teks sastranya dapat di muat di media nasional tersebut. Tak heran jika ada yang bilang, jangan mengaku dirinya sebagai seorang pengarang apabila karyanya belum dimuat di koran nasional itu.

Ideologi redaktur

Istilah ideologi dilontarkan pertama kali oleh Antoine Destutt de Tracy (1754 -- 1836), saat Revolusi Prancis bergejolak. Sebagai seorang bangsawan yang bersimpati pada revolusi tahun 1789 itu, De Tracy pernah dipenjara kelompok Jacobin yang berkuasa dalam Pemerintahan Teror, pascarevolusi. Karena pengalamannya, ideologi lalu didefinisikannya sebagai ilmu tentang pikiran manusia, yang mampu menunjukkan arah yang benar menuju masa depan.

Media massa lahir dari konsep redaksional yang dirumuskan. Embrionya adalah sebuah ideologi tertentu. Ideologi ini selanjutnya akan tumbuh menjadi "visi  media massa" yang kemudian dioperasionalkan menjadi misi. Pada ranah inilah justru terjadi perbedaan sikap antar media dalam mendekati berbagai persoalan yang menjadi bidang perhatiannya, termasuk sikap terhadap sastra. Surat kabar yang lahir dari ideologi liberal, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, akan memberi perhatian lebih pada program-program liberalisasi, termasuk liberalisasi nilai-nilai sastra. Kompas dan Koran Tempo tampak lebih dekat dengan ideologi ini. Koran yang berediologi Islam seperti Republika, akan cenderung memilih karya-karya sastra yang Islami. Meskipun tetap dapat memuat karya-karya bertema humanisme-universal, tapi akan tegas menghindari karya-karya sastra masokis, serta sastra seksual yang vulgar dan serba terbuka, seperti misalnya cerpen-cerpen Hudan Hidayat, Djenar Maesa Ayu, dan sajak-sajak Binhad Nurrahmad. Meskipun, bisa saja karya-karya mereka masuk ke Koran yang lebih liberal, seperti Media Indonesia. Hal ini juga mempengaruhi pemilihan tema karya sastra yang dimuat. Begitu juga selera dan visi estetik redakturnya. Kompas, Suara Pembaruan dan Republika, misalnya, cenderung lebih menyukai cerpen-cerpen realistic. Sementara Media Indonesia, cenderung ke cerpen-cerpen bertema kosmopolit maupun sekuler.

Muatan kapitalis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun