Mohon tunggu...
Prasetyo Adi Wibowo
Prasetyo Adi Wibowo Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang yang sedang belajar untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sastra Koran: Kapitalisme dan Idealisme pada Penghibur di Ruang yang Sempit

7 Desember 2022   22:08 Diperbarui: 7 Desember 2022   22:14 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sastra selalu berkembang. Seiring berjalannya waktu, ia bermetamorfosis melalui bentuk dan media yang berbeda. Quintus Horatius Flaccus, seorang penyair asal Yunani menyebut sastra sebagai sesuatu yang dulce et utile. Bahwa sastra memiliki fungsi ganda, ia tidak hanya menghibur, tetapi juga memberika makna. Mungkin inilah yang mendorong sastra selalu bermetamorfosis sepanjang waktu.

Di Indonesia sastra juga mengalami perkembangan ditiap periodenya. Sejak awal mula, Kesusastraan Indonesia tumbuh melalui media-media cetak seperti koran dan majalah. Puncak rezim majalah sastra itu berlangsung sampai pada era majalah Horison. Sejak terbit l970-an, Horison telah membangun citra dirinya sebagai majalah sastra yang benar-benar berwibawa. Para penyair, cerpenis, eseis/kritikus dan pengamat sastra pada umumnya, seperti kurang lengkap referensi bacaannya jika tidak membaca Horison. Memasuki dasawarsa l980-an, peranan majalah sastra mulai tereduksi dengan munculnya rubrik-rubrik sastra yang menjamur di hampir semua surat kabar baik pusat maupun daerah, walaupun sebenarnya gejalanya sudah terasa sejak 1970-an. Bukan hanya koran-koran mingguan yang menyediakan halaman untuk puisi, cerpen, esei sastra dan novel, tapi juga surat-surat kabar harian seperti Suara Karya, Berita Buana, Kompas, Sinar Harapan, dan Media Indonesia. Pelopor Yogya bahkan telah memulai tradisi sastra koran sejak l970-an, mereka digawangi oleh "presiden malioboro" Umbu landu Paranggi, hingga sempat ikut mengantarkan nama-nama besar seperti Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan dan Linus Suryadi AG.

Sastra yang muncul pada koran biasa disebut dengan istilah Sastra koran. Sebenarnya istilah 'sastra koran' tidak dimaksudkan untuk menunjuk adanya sebuah genre sastra, tapi hanya menunjuk karya-karya sastra yang memanfaatkan koran sebagai media publikasi pertama. Istilah ini sejajar dengan istilah 'sastra saiber' (cyber) yang sejauh ini masih hanya menunjuk ruang saiber (cyber space, internet) sebagai media publikasi karya.

Pada zaman termutakhir ini, kita tidak dapat menafikan peran koran seperti Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos dan Tempo dalam mempengaruhi kecenderunan estetik sastra mutakhir Indonesia. Sastrawan yang sudah mapan, maupun sastrawan pemusa bisa ikut ambil bagian di sastra koran. Seno Gumira Ajidarma, sampai saat ini masih aktif dalam menulis cerita bersambung yang terbit di harian Jawa Pos di setiap edisinya dengan lakon Naga Jawa di Negeri Atap Langit.

...

Kabut telah menguap sepenuhnya dalam kecemerlangan pagi, tetapi siapakah kiranya yang masih akan terpesona oleh segala kecemerlangan dunia menghadapi pemandangan datangnya ancaman maut yang nyata?

di sini hilang perbedaan

Matahari dan Rembulan

dalam dirinya

dunia ketiga terbentuk

O ketahuilah yogini,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun