“Takut, Dhin. Tetapi kakek bisa merasakan ketenangan yang belum pernah kakek rasakan sebelumnya, ketika mereka datang dan mulai membisikkan suara itu ke telinga kakek. Nada suaranya pelan namun terdengar pasti, iramanya menuntun kakek pada lantunan suara yang abadi. Kakek takut pada mereka, tetapi juga merindukan datangnya.”
Aku tidak mengerti maksud pembicaraan kakek. Ucapan yang senada dengan itu sebelumnya juga sudah pernah diucapkannya, bahkan berbilang-bilang banyaknya. Itu pula yang membuatku sedikit-banyak menyesal tak pernah sekalipun memenuhi permintaannya. Aku hanya diam dan terus-menerus mengamati tingkah kakek.
“Mereka mengingatkanku, Dhin,” kakek melanjutkan. “Mereka mengajakku mengikuti jalan yang tenang itu, yang menuntun pada suara berirama keabadiaan. Barangkali sudah saatnya kakek mengikuti mereka, tetapi kakek takut tak memiliki bekal yang cukup. Percayalah, Dhin, hanya kamu yang mau mendengarkanku. Emakmu, bapakmu, juga orang-orang lain tak pernah menggubris omongan kakek. Mereka akan bilang omonganku bualan belaka, hanya menganggap itu sebagai pertanda. Padahal tanda-tanda itu sebenarnya juga selalu mengikuti mereka semua, termasuk kamu, Dhin. Hanya karena usia kakek yang rentalah, membuat kakek bisa merasakan dan melihat semuanya.”
“Mengapa emak dan bapak tak mau mendengarkan, Kek?”
“Emak dan bapakmu masih sehat, Dhin, masih muda, masih kaya, masih lapang, juga masih hidup. Itu membuat mereka seringkali lupa,” kata kakek dengan nada yang serius dan pasti. Sementara aku masih sama, semakin tidak mengerti maksudnya.
Hari telah menjadi semakin gelap, langit mulai redup oleh gumpalan awan abu-abu keemasan. Rumpun pohon bambu di samping dan belakang rumah kakek bergoyang-goyang, mengeluarkan bunyi mengerat-ngerat kencang. Burung-burung Emprit yang telah kenyang dengan lincah beterbangan, mencari dahan-dahan pohon untuk menghabiskan waktu malam. Di bawah pohon mangga depan rumah kakek tampak dengan terang, petani-petani Dusun Podang satu demi satu pulang dari sawah dan ladang, berjalan dengan senyum dan canda yang mengembang.
“Sudah sore, Dhin. Pulanglah! Nanti emakmu mencari. Ingat-ingatlah ucapanku, bahkan sampai engkau besar nanti. Besok bilanglah pada emakmu, tidurlah di sini bersamaku.”
Aku mengiakan ucapan kakek, kemudian pulang setelah beberapa saat membantu mengumpulkan alat-alat kerjanya, dan memindahkan anyaman bambu buatannya yang belum jadi. Rumahku dengan rumah kakek hanya terpaut dua rumah. Sambil berjalan aku berusaha mengingat-ingat dongengan kakek. “Kakek, apa pula yang telah engkau ucapkan kepada cucumu yang belum genap sepuluh tahun ini, telah cukup umurkah cucumu untuk mengerti?”
*
Setidaknya itulah kisahku dengan kakek yang masih terekam dalam ingatanku. Beberapa hari berselang setelah saat itu, kakek sungguh-sungguh menemui harapannnya. Ia pergi mengikuti jejak orang berpakaian putih-putih yang setiap malam datang padanya. Ia berjalan menyusuri jalan yang pernah dirasakannya sebagai ketenangan, yang menuntunnya pada suara berirama keabadian. Ia berjalan meninggalkanku, yang sekalipun tak pernah memenuhi permintaannya. Bahkan hanya berselang beberapa saat, aku telah melupakan ucapan-ucapannya kepadaku. Aku juga tak sempat melihat detik-detik menjelang ia pergi menemui harapannya. Saat mendengar itu, air mataku menetes dengan segera, secara perlahan mengalir membasahi seluruh muka.
Dan kini, aku kembali mengenang kakek, sejenak mengingat jasa-jasanya, teladan-teladannya, nasihat-nasihatnya untukku. Kadang aku merasa kakek mengunjungiku, membisikkan suara ke kupingku yang aku sendiri tak tau maksudnya. Aku berupaya mengkhayalkan keadaannya kini, meski tak berani meyakini ia dalam keadaan yang lebih baik. Pastilah ia kini sendirian, berada di ruang gelap tanpa sedikitpun penerangan. “Ah kakek, masih beruntung pula engkau ini. Sedikit-sedikitnya engkau bisa merasakan dan melihat tanda-tanda sebelum engkau berada di penghujung jalan. Sedang bagaimanakah dengan cucumu ini nanti?”