"Kisanak tak perlu berpura-pura. Aku tahu kalau kisanak adalah prajurit Sunda Galuh yang menyamar bukan?" Padi Emas berbisik sambil memegang lengan si prajurit.
Si prajurit terbelalak. Wajahnya ketakutan seperti melihat hantu. "Kau tak perlu takut," bisik Padi Emas. "Aku akan membantumu. Ikut aku..."
Padi Emas bukanlah pendekar yang suka ikut campur urusan orang. Dia sendiri tidak tahu dorongan dari mana yang membuatnya spontan ingin membantu prajurit itu. Mungkin karena dia trenyuh melihat pembantaian di depan mata dan tidak bisa berbuat apa-apa?
Seperti yang diduga, prajurit itu memang menyamar. Namanya Kayan, dan ditugaskan khusus untuk melarikan diri. Baginda Maharaja Lingga Bhuwana sadar kalau kepungan Majapahit yang sangat rapat tak mungkin diterobos. Namun biar bagaimanapun, harus ada prajurit Sunda Galuh yang lolos. Untuk memberitahu kepada masyarakat Sunda Galuh apa yang terjadi di Lapangan Bubat.
Baginda menugaskan beberapa prajurit untuk berpura-pura. Kayan pun mengenakan sarung yang morifnya mirip dengan yang dikenakan prajurit Majapahit.
Aksi pura-pura mereka berlangsung mulus. Hingga ke tepi lapangan tak ada yang curiga. Kayan pun berhasil lolos. Namun sebagai penduduk Sunda Galuh yang belum pernah ke Trowulan, dalam sekejap dia bingung. Tak tahu arah mana untuk keluar.
Dan muncullan Padi Emas yang mengatakan siap membantu.
Kayan terpaksa menurut. Dalam keadaan bingung, dia tak punya pilihan. Dia menyerahkan nyawanya kepada Padi Emas. Dia tahu, jika si lelaki ini berniat jahat, pasti sudah sejak awal dia membuka rahasia.
Padi Emas membawa Kayan ke kios yang akan dijadikan pertemuan dengan beberapa penbdekar.
"Jadi begitulah," cerita Padi Emas kepada Pendekar Misterius, Wolu Likur dan Gegurit Wungu. "Aku tak punya pilihan lain. Aku harus membantu lelaki ini kembali ke Sunda Galuh. Semoga teman-teman pendekar bisa memahami..."
Ketiga pendekar terdiam. Saling pandang.