Mohon tunggu...
Padepokan Rumahkayu
Padepokan Rumahkayu Mohon Tunggu... -

Padepokan rumahkayu adalah nama blog yang dikelola oleh dua blogger yang suka bereksperimen dalam menulis, yakni Suka Ngeblog dan Daun Ilalang. 'Darah di Wilwatikta' ditulis bergantian oleh keduanya dengan hanya mengandalkan 'feeling' karena masing- masing hanya tahu garis besar cerita sementara detilnya dibuat sendiri-sendiri. \r\nTulisan- tulisan lain hasil kolaborasi kedua blogger ini juga dapat ditemukan di kompasiana.com/rumahkayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 28: Pesan Dalam Kipas Kertas

8 Desember 2011   01:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:42 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SUATU pagi di Padepokan Rumah Kayu…

Nyai Daun Ilalang sedang sibuk bebenah. Suaminya yang di kalangan pendekar dikenal dengan sebutan Pendekar Misterius serta putra sulungnya, Pradipta, membantu sebisanya. Mereka akan turun ke kota hari ini. Ke Trowulan. Nyai Daunilalang gembira. Sejak melahirkan bayi kembar beberapa bulan yang lalu, dia jarang sekali bisa keluar rumah. Dan belum sekalipun pergi lagi ke Trowulan. Untunglah sesekali beberapa pendekar datang berkumpul di Padepokan Rumah Kayu, sehingga Nyai Daun Ilalang tetap dapat berhubungan dengan mereka. Nyai Daunilalang menyiapkan payung dan kipas untuk membantu menghindari terik sang Surya nanti. Hari panas terus menerus akhir- ahir ini. Baru semalam setelah beberapa hari panas turun hujan sejenak. Ah, binatang- binatang di sekitar sungai tentu senang sekali, pikir Nyai Daun Ilalang, teringat pada binatang- binatang yang hidup di anak sungai yang mengalir di belakang padepokan. Dia juga teringat pada sebuah syair indah tentang kodok dan hujan. pagi, kodok nyanyi-nyanyi berpesta hujan semalam menjagakan mereka dari kerontang kemarau menerpa payau Nyai Daun Ilalang terus menyiapkan beragam hal. Dicarinya simpanan jeruk dan jahe yang sudah dikeringkan. Dibungkusnya hati- hati. Mbakyu Tri, sahabatnya pemilik kedai Pawon ManteraKata pasti senang menerima jeruk-jeruk dan jahe kering yang jika ditaruh dalam wadah akan menebarkan wangi segar ke seluruh ruangan itu. Dan begitulah. Pagi itu mereka menumpang kereta kuda pergi ke Trowulan. Pendekar Misterius mengendarai sendiri kereta kudanya. Pradipta dengan senang hati duduk di muka di samping rama-nya, sementara Nyai Daun Ilalang duduk di belakang, dibantu seorang mbok emban yang sudah lama turut dengan keluarga mereka, memangku Nareswara dan Nareswari. Sang Surya Terik Membara, membuat Nyai Daun Ilalang teringat pada kata sandi Sang Surya Terbit Menanyakan Hujan. Dia tak terlalu khawatir. Kiran akan aman di tangan Putri Harum Hutan. Walau entah dimana saat ini mereka berada, tapi belum ada kabar lain yang sampai ke tangannya yang menunjukkan bahwa Kiran telah dialihkan pengawasannya oleh Putri Harum Hutan ke para pelindung yang tersumpah lain. Nyai Daun Ilalang tersenyum dalam hati. Orang memang akan berkumpul dengan sesamanya, pikir Nyai Daun Ilalang. Para Pelindung yang Tersumpah selama ini sebetulnya satu sama lain tak tahu siapa saja dalam jaringan mereka. Jaringan ini dibentuk dan diwariskan turun- temurun secara rahasia. Ada beberapa pinisepuh dalam jaringan itu, yang sesuai kesepakatan, untuk menjaga agar mata rantai jaringan tak terputus, menunjuk satu keturunan mereka, biasanya anak atau keponakan, untuk juga menjadi bagian dari mata rantai. Jika salah satu dari dua orang dalam satu garis keturunan ini wafat, maka satu orang yang tersisa harus mencari satu orang lain yang akan berpasangan dengannya menjadi Para Pelindung yang Tersumpah. Selama ini jaringan tersebut tak tampak, sampai beberapa saat yang lalu, kata sandi Sang Surya Telah Terbit Menanyakan Hujan secara serentak muncul dimana- mana. Dan barulah Nyai Daun Ilalang menyadari bahwa ada banyak pendekar dengan siapa dia telah bersahabat selama ini yang tanpa diketahuinya rupanya juga ada dalam jaringan tersebut. Pendekar Padi Emas. Mbak Yu Tri dan suaminya, pendekar Wolu Likur ( Pendekar Dua Delapan ). Pendekar Gegurit Wungu di Joglo Abang Dan bahkan Pendekar Candu Rusuh, yang sudah sejak lama sering menginap berhari- hari di Padepokan Rumah Kayu dengan penampilan yang tak pernah berubah, baju lusuh dan rambut keriting panjang tak terurus itu, ternyata juga ada dalam jaringan Para Pelindung Yang Tersumpah. Juga banyak pendekar- pendekar lain yang baru didengarnya namanya. Mereka akhirnya mengetahui bahwa mereka sama- sama berada dalam jaringan tersebut ketika pesan- pesan rahasia antar pendekar mulai dikirimkan. Pendekar Candu Rusuh pernah, contohnya, pada suatu kali menyampaikan pesan Mbakyu Tri pada Nyai Daun Ilalang. Pendekar Wolu Likur suatu hari menyampaikan pesan Pendekar Gegurit Wungu, sahabatnya sesama pendekar pujangga pada Pendekar Misterius. Begitulah cara mereka bekerja. Mereka bekerja sendiri- sendiri, tetapi untuk suatu tujuan yang sama.

***

Kereta Kuda berjalan mendekati kota. Dari kejauhan telah tampak keraton Majapahit yang dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dan tebal. Di dekat keraton itu terdapat pos tempat para punggawa kerajaan berjaga. Keraton itu memiliki gerbang utama menuju keraton yang terletak di sisi Utara tembok pagar keraton. Gerbang utama itu berupa gapura agung dengan pintu besar terbuat dari besi berukir. Di depan Gapura Utara itu terdapat bangunan panjang tempat para petinggi negara melakukan rapat, sebuah pasar, serta sebuah persimpangan jalan yang disucikan. Ke arah pasar itulah keluarga Pendekar Misterius menuju. Kedai Pawon ManteraKata terletak tak jauh dari pasar yang ramai itu. Di pasar itu juga terdapat sebuah toko yang menjual bahan obat- obatan. Nayi Daun Ilalang kadang- kadang mampir ke sana, membeli beberapa bahan obat untuk persediaan di padepokan.

***

Di kedai Pawon ManteraKata, Mbakyu Tri sedang sibuk melayani pada pembeli ketika di kejauhan terdengar suara kereta kuda. Suara itu makin jelas mendekat. Dia menoleh dan menatap keluar jendela, memperhatikan siapa yang datang, dan tak lama kemudian senyum Mbakyu Tri terkembang. Ah, jadi mereka inilah rupanya yang dimaksud oleh Pendekar Candu Rusuh akan berkunjung tadi, pikirnya. Mbakyu Tri bergegas kembali ke meja dimana dia biasa duduk. Dicarinya sebuah kipas dengan gambar kupu- kupu, lalu ditulisnya sebait syair bunga teratai berdendang riang saat sang surya terbit menanyakan hujan kupu-kupu biru menari senang aman dalam pelukan keharuman hutan Empat baris saja. Takkan sempat menulis panjang. Lagipula memang tak perlu. Dia yakin Nyai Daun Ilalang akan dengan mudah menangkap apa isi pesan yang dituliskannya itu. Suara kaki kuda makin mendekat. Pendekar Misterius menghentikan kereta itu dan mengikatkan kudanya ke pohon mangga besar di depan Pawon MateraKata. Seluruh penumpangnya turun dan masuk ke dalam Pawon ManteraKata. Mbakyu Tri sungguh gembira. Sudah lama dia tak bertemu dengan Nyai Daun Ilalang, walau mereka terus berhubungan melalui surat dan puisi- puisi serta buah tangan yang saling terkirim ke dua arah. Keduanya berpelukan. Dan dengan tak sabar Mbakyu Tri mengulurkan tangan, meminta agar diijinkan menggendong salah satu dari bayi kembar. Bayi- bayi itu tampak sehat dan lucu. Mereka tertawa- tawa sejak tadi walau setelah beberapa saat bayi yang digendong oleh mbakyu Tri mulai rewel. Rupanya dia menyadari bahwa dia digendong oleh orang yang belum dikenalnya. Mbakyu Tri tersenyum, Nyai Daun Ilalang membujuk bayi itu dengan mengatakan bahwa Bu Lik Tri baik dan mereka boleh digendong olehnya. Tapi bayi kecil bernama Nareswari itu tak terbujuk. Dia mulai menangis, dan karenanya mbakyu Tri mengembalikan bayi itu pada Nyai Daun Ilalang. Keluarga Pendekar Misterius memilih satu meja di dekat jendela. Lalu mulai memilih- milih makanan, sementara itu Nyai Daun Ilalang menyodorkan bungkusan jeruk dan jahe kering, buah tangannya untuk Mbakyu Tri yang menerima bingkisan itu dengan gembira dan mulai mencium- ciumnya dengan senang hati. “ Ah, aku juga punya sesuatu untuk Nyai, “ kata mbakyu Tri. Dia melangkah ke arah meja yang biasa didudukinya lalu diambilnya dua buah kipas dari sana. Dibawanya juga serta sebuah mainan berbentuk keris dari janur yang dijalin. Mainan- mainan semacam itu seringkali dibuatnya untuk diberikan pada para pengunjung cilik. Saat kembali ke meja dimana Pendekar Misterius, Nyai Daun Ilalang dan keluarganya duduk, mbakyu Tri menyodorkan mainan dari janur itu pada Pradipta, “ Ini Den Bagus, “ katanya pada Pradipta, “ Mainan untukmu… “ Pradipta mengucapkan terima kasih dan dengan gembira memainkan keris dari janur itu. Sementara itu Mbak Yu Tri menunjukkan sebuah kipas kertas pada Nyai Daun Ilalang. “ Lihat Nyai, “ katanya pada Nyai Daun Ilalang, “ Aku belajar menggambar dan menulis puisi di atas kipas kertas pada Pendekar Gegurit Wungu… “ Nyai Daun Ilalang memperhatikan kipas tersebut dan berkomentar, “ Oh, ini rupanya oleh- oleh pelajaran Pendekar Gegurit Wungu yang dibawanya dari Negeri Tiongkok? “ Mbakyu Tri mengangguk. “ Ya. Sahabat- sahabatnya di Tiongkok, pujangga Hu Sin dan pujangga Bong Jun mengajarkan seni menulis puisi di atas kipas kertas ini padanya. Dan Pendekar Gegurit Wungu mengajarkan hal ini pada aku dan suamiku. “ “ Ah, kami juga sudah lama tak berjumpa dengan Pendekar Wolu Likur. Apa kabar suamimu? “ tanya pendekar Misterius pada Mbakyu Tri. Mbakyu Tri tertawa, “ Kabar baik. Rencananya siang ini dia juga akan datang ke sini. Mudah- mudahan bisa bertemu dengan pendekar dan Nyai Daun Ilalang, “ jawab mbakyu Tri. Nyai Daun Ilalang sementara itu, mengamati kedua kipas yang diberikan padanya dan membaca puisi- puisi yang tertulis di sana. Didapatinya huruf Dh di pojok salah satu kipas. Dipahaminya itu sebagai tanda bahwa puisi tersebut berhubungan dengan lelaki yang sedang diobati Kiran, Dhanapati, anggota Bhayangkara Biru yang kini dikejar oleh kawan- kawannya sendiri. Diperhatikannya kipas yang lain, kata sandi serta syair tentang bunga teratai dan kupu- kupu dalam bait syair di kipas itu dengan mudah dipahaminya sebagai kabar bahwa Kiran masih aman dalam penjagaan Putri Harum Hutan. Diamatinya sekali lagi kipas- kipas itu. Sayang sekali, pikirnya, kipas- kipas seindah ini, setibanya di padepokan nanti akan harus dibakarnya habis... ( bersambung ) Catatan: Terimakasih untuk Meiy Piliang yang telah mengijinkan sebait puisi penggalan dari karyanya yang berjudul Pagi, Kodok dan Doa dimuat  dalam episode ini ** Gambar diambil dari: www.alibaba.com **

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun