Mohon tunggu...
Padepokan Rumahkayu
Padepokan Rumahkayu Mohon Tunggu... -

Padepokan rumahkayu adalah nama blog yang dikelola oleh dua blogger yang suka bereksperimen dalam menulis, yakni Suka Ngeblog dan Daun Ilalang. 'Darah di Wilwatikta' ditulis bergantian oleh keduanya dengan hanya mengandalkan 'feeling' karena masing- masing hanya tahu garis besar cerita sementara detilnya dibuat sendiri-sendiri. \r\nTulisan- tulisan lain hasil kolaborasi kedua blogger ini juga dapat ditemukan di kompasiana.com/rumahkayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 20: Erang Kenikmatan yang Menggoda

29 November 2011   16:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:02 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KIRAN merasakan kepungan Durgandini dan Rakyan Wanengpati makin ketat. Dengan sekuat tenaga dia bertahan. Kedua lengan yang masing-masing menggenggam selendang dan kipas digerakkan menurut Pasha Hakasa Papikat Rasatala (Jaring Langit Jala Bumi), jurus kesebelas dari ajian Sebya Indradhanu Paramastri. Jaring Langit Jala Bumi adalah jurus untuk pertahanan. Gerakan kedua tangan mengeluarkan energi seperti jaring, yang mampu menangkal semua serangan. Namun yang dihadapi Kiran kali ini adalah dua tokoh besar di dunia persilatan. Pengalaman mereka jauh dibanding Kiran. Perbedaannya ibarat Gunung Batur dan Gunung Semeru. Kiran yang masih tergolong anak kemarin sore di kancah persilatan Jawadwipa kalah segalanya. Dalam sebuah kesempatan, tendangan Durgandini mampu menembus celah, dan mengena di perut. Kiran berteriak kesakitan. Terlempar tiga tombak dan bergulingan di tanah. “Sudah kami katakan, percuma melawan. Lebih baik kau ikut dengan kami dengan sukarela,” ujar Durgandini. Masih dengan suaranya yang bening. Dengan senyum manis. Bersama Rakyan Wanengpati, Durgandini mendekati Kiran yang terbaring di tanah. Kiran merasa perutnya bergejolak. Organ tubuhnya terguncang. Tendangan Durgandini bukan tendangan biasa. Namun dia tak mempedulikan rasa sakit. Dia justru menoleh ke arah Dhanapati, dan terheran-heran melihat pemuda itu berdiri sambil menopang pedang. Entah bagaimana namun pemuda itu ternyata memenangkan pertarungan. Dhanapati hidup!! Kemenangan Dhanapati membangkitkan semangat Kiran. Dia bergegas bangkit. Selendang dan kipas digenggam erat. “Apapun yang terjadi, aku tak akan pergi…” Kiran mendesis, dan memasang kuda-kuda. Perlahan dia memutar selendang membentuk gulungan. Kipas juga digerakkan memutar. “Kiran, kau beristirahatlah dan temani pemuda itu. Biar aku yang menghadapi mereka…” Terdengar suara seorang perempuan. Suara yang dingin menusuk yang datang dari balik pepohonan. Kiran menoleh. Yang berbicara adalah perempuan cantik berusia pertengahan 20 tahun. Wajahnya cantik, namun dingin, membayangkan kepahitan hidup. Dia mengenakan pakaian mewah berwarna putih. “Aku Harum Hutan, pemilik tempat ini. Siapa yang berani mati mengacau di tempatku?” Durgandini dan Rakyan Wanengpati dapat merasakan aura membunuh yang sangat kuat yang terpancar dari perempuan yang mengaku bernama Harum Hutan itu. Ada sesuatu yang mengerikan pada perempuan cantik itu, yang membuat Durgandini dan Wanengpati merinding. “Maaf, kami tak bermaksud lancang. Kami hanya ingin mengundang Putri Kiran menemui Ketua Muda kami…” Durgandini berujar, mencoba bersikap ramah. “Kiran adalah tamu Harum Hutan. Dia tak akan kemana-mana. Jika kalian menyayangi nyawa kalian, cepat minggat dari sini…” Durgandini dan Wanengpati saling pandang, menimbang-nimbang. Mereka tentu saja tahu kalau pondok ini milik Putri Harum Hutan. Mereka juga tahu kalau perempuan cantik ini adalah pendekar dari Swarnadwipa yang masih kerabat Raja Wilwatikta. Yang membuat Durgandini dan Rakyan Wanengpati terkejut adalah kehadiran sang putri. Bukankah ada banyak jagoan yang ditugaskan menghalangi kedatangannya? “Kami berdua hanya menjalankan perintah. Jadi maaf, kami akan membawanya, apapun yang terjadi,” kata Durgandini. Kini ucapannya tegas. Lenyap sudah keramahan dan senyumnya yang manis. Dia memasang kuda-kuda. Jari telunjuk dan jari tengah disatukan. Tangan kanan direntangkan sejajar bahu, lengan kiri ditekuk dengan kedua jari tepat di depan mulut. Itulah pembukaan dari ajian Wilapa Sadha Gupata (Totokan Tulang Putih). Rakyan Wanegpati juga bersiaga. Seluruh tubuhnya bergetar. “Putri, biar kami bertiga yang menghadapi lelaki ini,” ujar Dara Merah, yang melompat ringan bersama kedua rekannya Dara Biru dan Dara Hijau. Putri Harum Hutan mengangguk. Ilmu beladiri ketiga pembantunya sudah tergolong tinggi. Mereka seharusnya bisa mengimbangi lelaki itu. “Heh.. Heh… Heh… Mimpi apa aku semalam. Di pagi buta ini aku disuguhi tiga gadis cantik. Ayo manis, mari kita bermain-main…” Sambil tergelak Wanengpati menerjang. Sama seperti sebelumnya, serangannya diarahkan ke bagian paling menarik dari perempuan: Dada. Dara Merah yang diserang tentu saja menghindar. Namun dia terkejut karena gerakan lawan begitu cepat. Karena tak bisa menghindar terpaksa dia menangkis. “Dukkkk….” Dara Merah merasa tubuhnya tergetar. “Lihat serangan!!!” Nyaris bersamaan Dara Biru dan Dara Hijau menggebrak. Mengepung dan menghantam. Dan dalam sekejap, Rakyan Wanengpati terdesak hebat. Ketiga dara semakin bersemangat. Lelaki ini harus dirubuhkan secepatnya supaya mereka bisa membantu Putri Harum Hutan yang kini terlibat pertarungan sengit dengan Durgandini. Sebuah hantaman dari Dara Hijau membuat Wanengpati terhuyung. Ketiga gadis ini lalu merangsek. “Sraaattt!!!” Serbuk berwarna ungu kebiruan tiba-tiba menghantam wajah ketiga dara. Mereka terbatuk dan segera melompat mundur. Serbuk itu berbau harum. Sangat harum dan sejenak membuat mereka pusing. “Heh.. heh.. Heh… Kalian sudah terkena Paraga Gayuh Tresna (Serbuk Perangsang Asmara). Sepenanak nasi lagi kalian bertiga akan menjadi milikku. Heh.. Heh.. heh…” “Kurang ajar,” desis Dara Merah. “Ayo kita habisi dia. Jurus ketiga!!” Ketiga dara segera berdiri berjajar. Nyaris bersamaan kedua lengan melakukan gerakan memutar. Energi aneh terpancar. Rerumputan yang masih basah oleh embun pagi tercabut hingga akar. Begitu juga semak yang ada di sekeliling. “Serang!!” Serempak mereka menggerakkan tangan. Rerumputan dan semak seperti digerakkan oleh tangan raksasa dan bergerak dengan kecepatan luar biasa ke arah Rakyan Wanengpati. Itulah jurus Nasta Sagara Wibhata Bhumi (Membongkar Lautan Membelah Daratan) yang digerakkan dengan Prana Bayu Agni. Rakyan Wanegpati dapat melihat dahsyatnya serangan. Dia melompat tinggi dan berjumpalitan empat kali. Namun angin serangan terus menghujam, seperti naga raksasa yang marah. Karena tak bisa lagi menghindar, terpaksa dia menangkis. “Blaaar!!!” Adu tenaga sakti terjadi. Rakyan Wanengpati terdorong mundur hingga tujuh tombak, tersandar di sebuah pohon. Dia menatap ketiga lawannya dengan sorot mata ngeri. Sama sekali tak disangkanya kalau tenaga sakti ketiga gadis muda itu begitu tinggi!! “Durgandini, angin di sini terlalu keras. Aku pergi!!” Wanengpati dapat membaca situasi. Melihat tak mungkin bisa menculik Kiran, dia memutuskan untuk kabur!! Durgandini yang bertarung sengit dengan Putri Harum Hutan kaget melihat rekannya melarikan diri. Rakyan Wanengpati bukan jagoan sembarangan. Di dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Dewa Pemetik Bunga. Bagaimana mungkin dia bisa dikalahkan tiga gadis muda dengan begitu mudah? Setelah ditinggal rekannya, semangat bertarung Durgandini berkurang jauh. Dia segera melompat mundur dan berkelebat di tengah hutan. “Kami akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar untuk menjemput Putri Kiran…”

***

Sang Surya sudah terbit, dengan cahayanya yang berwarna keemasan. “Kalian tidak apa-apa?” Ketiga dara mengangguk. “Ajak kedua tamu ke dalam pondok dan suguhi Kopi Luwaak. Aku akan memeriksa sekeliling,” kata Harum Hutan. Tiga Dara mengangguk. Dengan sopan mereka mengajak Kiran dan Dhanapati. Mereka memasuki pondok, dan terus hingga ke belakang. Bagian belakang pondok ditutupi semak dan rumpun bambu. “Mau ke mana kita?” Kiran bertanya heran. Seingatnya Putri Harum Hutan memerintahkan agar ketiga dara ini menyajikan Kopi. Kenapa justru dibawa ke belakang pondok? “Menyajikan Kopi Luwaak adalah kalimat sandi. Artinya kami harus membawa saudara berdua ke tempat yang lebih aman. Pondok ini tak aman,” kata Dara Merah. Ketiganya kini berjalan melewati anak sungai dan tiba di air terjun yang bergemuruh. Mereka melewati sisi air terjun. Dan Kiran terkagum-kagum karena di balik air terjun ternyata ada sebuah gua. Gua mungil, setinggi pinggang orang dewasa. “Ikut aku,” bisik Dara Hijau, yang segera berjongkok memasuki gua. Kiran mengikuti. Juga Dhanapati, yang menyeret pedang. Dara Biru dan dara Merah mengawasi sekeliling dan ikut masuk. Gua itu terasa lembab. Dan pengap. Gua itu berkelok-kelok, dan menurun. “Kita sudah sampai…” Kiran memicingkan matanya yang terasa silau. Ternyata mereka kini berada di dasar jurang, berupa celah sempit yang indah. Sebuah pondok sederhana didirikan di tepi mata air yang jernih. Di sekeliling pondok nampak kembang beraneka warna. “Oh, di sini indah sekali….” “Iya. Di sini indah. Ini tempat persembunyian… aduuuhhh” Dara Hijau tiba-tiba mengernyit dan memijit kepalanya. “Kamu kenapa?” “Ah tidak. Hanya… pusing sedikit…” “Aneh… Aku juga merasa pusing…” ujar Dara Biru. “Aku juga merasa pening,” tambah Dara Merah. Kiran mengernyitkan keningnya. Wajah ketiga dara cantik ini merah padam. Mata mereka sayu. “Kalian tidak apa-apa?” “Ah tidak. Pasti kami hanya kelelahan…” “Tidak. Kalau kekelahan gejalanya lain. Coba aku periksa…” Kiran segera meraba denyut nadi, dan memeriksa mata ketiga gadis itu. Dia juga meraba leher. “Demi Jagat Dewa Batara!!! Tidak mungkin….” “Apanya yang tidak mungkin?” Putri Harum Hutan tiba-tiba muncul. “Eh, aku rasa, ketiga dara ini terkena racun!!” “Racun? Siapa yang menyerang kalian dengan racun?” “Ah pasti serbuk ittu. Tadi kami diserang dengan serbuk oleh lelaki kurang ajar itu…” “Iya, aku melihatnya,” kata Kiran. “Kalian terkena Paraga Gayuh Tresna!!” “Tapi kau tabib bukan? Kau bisa mengobati mereka?” Kiran terdiam. Dia kemudian menggamit Harum Hutan. “Sebaiknya kita bicara berdua…”

***

“Paraga Gayuh Tresna adalah racun yang sangat keji. Bahkan setahuku sudah dilarang dibuat sejak dua ratus tahun lalu,” bisik Kiran kepada Harum Hutan. Mereka kini berada di tepi mata air. “Tapi itu bisa diobati bukan?” Harum Hutan bertanya. “Tentu bisa dioobati.” Kiran menatap Harum Hutan, merasa ragu. “Racun ini, eh, hanya bisa diobati oleh lelaki….” Kiran kemudian berbisik ke telinga Harum Hutan. “Hah?” Harum Hutan terbelalak kaget. “Kenapa begitu? Dan apa yang akan terjadi jika mereka tak diobati?” “Racun dari serbuk bekerja pada otak dan saraf manusia. Jadi tak bisa disembuhkan dengan obat-obatan. Jika tak disembuhkan, sebelum tengah hari mereka akan menjadi gila!!!” “Ahhhh!!! Kau yakin?” “Aku ini tabib. Dan begitulah yang aku pelajari…” “Jadi bagaimana?” “Di sini hanya ada Dhanapati. Hanya dia yang bisa membantu…” “Kau yakin dia akan setuju?” “Biarlah aku bicara dengannya, dan Putri Harum Hutan bicara kepada ketiga dara…”

***

“Kiran, kau sudah gila?” Desis Dhanapati. “Aku tidak gila. Tapi hanya itu satu-satunya cara untuk menyembuhkan mereka. Untuk mencegah mereka menjadi gila. Mereka terkena Paraga Gayuh Tresna dan…” “Aku tahu apa itu Paraga Gayuh Tresna itu,” sergah Dhanapati. “Tapi bukankah serbuk itu sudah dilarang dibuat sejak dua ratus tahun lalu?” “Entahlah. Tapi yang jelas, ketiga dara terkena racun keji itu. Dan hanya kau yang bisa menyembuhkan mereka…” “Dan jika aku tidak mau?” “Jika kau tidak mau, aku akan membunuh ketiga pembantuku, dan aku akan membunuhmu…” Putri Harum Hutan tiba-tiba muncul. Wajahnya dingin namun serius. “Ah, Dhanapati pasti mau,” kata Kiran. “Ingat, ini pengobatan. Kau menjadi tabib dan mereka adalah pasien. Ingat itu baik-baik. Yang kau lakukan adalah pengobatan!!!

***

Dhanapati memasuki satu-satunya bilik di pondok itu. Bilik yang sangat sederhana, hanya ditutupi bambu yang dicacah kasar. Ketiga dara duduk di lantai beralaskan jerami dan rumput kering. Wajah ketiga gadis itu merah padam. Mata mereka sayu. Pemuda itu mencoba meredakan debar di hati. Dia harus mengobati ketiga gadis ini yang keracunan. Dan dia harus mengobati dengan… Dia mendekati Dara Merah. “A… aku minta maaf. Sekali lagi aku minta maaf,” bisik Dhanapati. “Aku hanya berusaha mengobati kalian…” Dara Merah mengangguk. Nafasnya terengah. “Maafkan aku…” Bisik Dhanapati lagi. Perlahan dia membelai rambut Dara Merah. Kemudian membelai pipinya. Dhanapati lalu mengecup kening. Dan mata. Dan pipi. Dan… Dara Merah merintih. Dara Biru dan Dara Hijau yang duduk tak jauh dari Dara Merah terengah…

***

Tak jauh dari pondok, Kiran dan Harum Hutan sedang memasak. Tanpa kata. Dan tiba-tiba mereka saling pandang.

Sayup, dari dalam pondok, terdengar erang kenikmatan. Erang kenikmatan yang menggoda. Yang membuat jantung kedua gadis ini berdegub kencang!!!! (bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun