TUJUH pasang mata menatap Dhanapati yang berjalan terhuyung hingga sosoknya lenyap ditelan hutan.
Dua dari mereka memalingkan wajah. Dua lainnya menarik nafas panjang sambil menunduk. Tiga lainnya bersikap tak peduli.
“Dhanapati telah memilih. Dan dia kini telah membayar harganya…” Yang berujar adalah lelaki berusia 50-an tahun. Berwajah agung dengan tatapan setajam mata elang. Dia mengenakan pakaian mewah dengan simbol burung Garuda mengepakkan sayap yang tersulam indah di dada sebelah kiri. Di Kotaraja, Trowulan, lelaki ini sangat disegani dan dikenal sebagai orang kepercayaan Yang Mulia Mahapatih. Dia bernama Bhagawan Buriswara, pemimpin Bhayangkara Biru, sekaligus salah satu dari lima tokoh paling sakti di Trowulan.
“Tak perlu ada penyesalan. Kita melakukan hal yang benar. …”
“Memang tak perlu ada penyesalan. Lagipula penyesalan tak akan membuat warga dukuh Weru ini hidup lagi bukan?” Sahut lelaki bertubuh gemuk kekar. Berwajah bulat dengan mulut yang selalu menyeringai. Dia bernama Brontoseno.
Semua terdiam. Nyaris serentak, mereka menatap mayat yang bergelimpangan. Mayat penduduk biasa yang tak tahu apa-apa.
Ini bukan pertama kali mereka membunuh. Pekerjaan yang mereka lakoni telah membuat hati mereka sekeras baja. Mereka mampu membunuh penjahat tanpa berkedip. Bahkan tanpa diiringi tarikan nafas.
Tapi kali ini berbeda. Masyarakat Dukuh Weru yang mereka bunuh, 31 orang dewasa dan 17 anak-anak sama sekali tidak berdosa. Kesalahan masyarakat Dukuh Weru hanya satu. Mereka berada di dekat orang yang salah!!!
“Yang kita lakukan hari ini semata demi Bhayangkara Biru, dan dalam skala yang lebih luas, demi kebesaran dan kejayaan Majapahit,” kata Buriswara. “Dan ingat, yang kita lakukan ini atas sepengetahuan dan persetujuan Yang Mulia Mahapatih…
“Warga Dukuh Weru harus dimusnahkan guna menghilangkan jejak. Tak boleh ada yang tahu keterlibatan Bhayangkara Biru. Ini pilihan terburuk yang memang harus dilakukan…”
Buriswara menatap enam anggotanya satu per satu. “Aku memahami perasaan kalian. Dhanapati itu saudara. Namun dia telah melupakan persaudaraan begitu memutuskan meninggalkan Bhayangkara Biru. Dia telah memutuskan nasibnya begitu meninggalkan Trowulan…"