GULITA memeluk malam.
Suara ombak laut terhempas tebing terdengar berulang. Ditingkahi suara serangga- serangga dan burung malam. Ada suara burung hantu jelas terdengar. Juga burung lain entah apa yang bercericit. Angin bertiup kencang malam itu. Membuat ranting bergerak- gerak dan dedaunan berdesir menari.
Di tengah hutan, di suatu tempat yang lapang terbuka, dua orang pendekar sedang berlaga.
Kiran, sang tabib muda, melawan Mohiyang Kalakuthana, seorang nenek yang diantara para pendekar terkenal dengan julukan si Ratu Racun. Kemampuannya membuat dan menawarkan racun tekenal bukan hanya di Jawadwipa, tapi juga di pulau- pulau dan kerajaan- kerajaan yang jauh.
Ratu Racun itu kini sedang berlaga melawan Kiran untuk membebaskan diri dari racun Suksma Halayang yang masuk ke tubuhnya. Suksma Halayang adalah racun kuat yang akan menyebabkan seseorang kehilangan sebagian jiwanya sepanjang hidup. Dia tak akan bisa lagi berpikir dan bertindak sesuai keinginannya sendiri dan akan mudah sekali dikendalikan orang lain.
Satu- satunya cara untuk mengeluarkan racun itu dari tubuh adalah dengan berlaga. Taruhannya adalah ilmu yang dimiliki. Siapa yang kalah dalam laga itu akan harus mengajarkan seluruh ilmu yang dimiliki. Jika tidak, dia akan mati dengan tubuh tebakar.
***
Cahaya bulan menerangi lapangan dimana kedua pendekar itu berlaga.
Mereka telah berlaga sejak Sang Surya belum lagi tenggelam tadi. Dan belum ada satupun yang menyerah.
Kedua pendekar itu memiliki ilmu yang mumpuni.
Ajian dan jurus yang dikeluarkan oleh keduanya bebeda. Gerakan mereka juga berbeda. Gerakan Kiran halus, tapi bukan tak bertenaga. Sementara Mohiyang Kalakuthana, sesuai dengan julukannya, melibatkan banyak racun di dalam jurus- jurusnya.