Sebelum adanya mesin cukur yang sekarang dipakai barbershop ataupun tempat cukur rambut tradisional, gunting sejak dulu kala telah menjadi alat kompatibel banget dengan tangan masyarakat desa dalam dunia cukur-mencukur rambut. Bahkan di banyak desa hal tersebut masih dipertahankan sampai sekarang.
Sebelum libur kuliah, untung sudah pulang kampung jadi saya nggak harus naggapin polemik mudik yang sebagaimana nasib polemik biasanya hanya sebagai bahan ngerusuh di sosmed. Sudah lebih 3 minggu saya di kampung, kemarin sore saya merasa rambut gondrong ini sudah saatnya harus dirapikan, apalagi bapak saya juga pintar mencukur rambut.
Tibalah saya di sore hari itu dicukur di dego-dego rumah (baca: istilah teras rumah dalam bahasa Bugis-Makassar), berbalut sarung dan perasaan sedikit tidak tega rasanya, melihat rambut gondrong yang telah lama saya pelihara harus dieksekusi oleh bapak saya. Seperti perkiraan anda saya dicukur memakai gunting.
Singkat cerita, saya selesai dicukur, dan entah mengapa hal-hal yang saya rasakan pada saat dicukur memakai gunting, membawa saya pada sebuah ingatan tentang saat-saat kecil dulu, saat masih SD, ada bagian-bagian mengenangkan yang tidak kalah menegangkannya dengan pernyataan pacar ketika berkata "Aku Bosan".
Untuk itulah saya akan membawa kamu, mereka, juga dia (((diaa??))) yang pernah merasakan dicukur memakai gunting kepada bagian-bagian menegangkannya, sebab kadang kita perlu kembali kepada kenangan agar kita paham bahwa masa depan tidak hanya kita bentuk dari kemenangan tapi juga kegagalan.
Bagian Pertama
Pada bagian ini, belum sampai memasuki jenjang pemotongan, masih taraf peninjauan alat, dimana pada saat itu bapak saya sedang memeriksa laci lemarinya, memilah satu persatu isi lacinya, sampai ia menemukan sebuah gunting.
Ketika ia telah menemukan guntinnya, ia belum menuju ke arena eksekusi rambut saya, ia masih memilah laci-laci yang ia temui di sekitar rumah, sampai ia menemukan sebuah sisir.
Saat keduanya telah ia temukan, tangannya yang sudah kasar karena selama ini sangat kuat membesarkan saya, ia bersiap-siap, menerawang sisi rambut di kepala saya yang harus ia dahulukan untuk dicukur.
Bagian inilah yang saya kira bagian pertama menegangkannya dicukur pakai gunting saat masih SD dulu, sebab dalam hati saya, saya bertanya-bertanya "Tajamji guntinga itu?", "Apakah akan tidak terasaji seperti rambut dicabut?".
Dulu pertanyaan itu selalu hadir diingatan saya saat ingin dimulai dicukur, pertanyaan itu pula yang membuat saya tegang. Tentu akan sakit rasanya dicukur pakai gunting bila guntingnya tidak tajam, bahkan kadang saya sering memberi alasan agar proses cukur tidak dimulai, sampai ketegangan saya hilang.
Bagian Kedua
Pada bagian ini, bapak saya sedang asyik-asyiknya membuat potongan rambut tahap demi tahap. Menggerakkan kepala saya dari kanan ke kiri, kiri ke kanan, atas ke bawah, dan bawah ke atas.
Bagian ini pula yang dulu sering menjadi candaan tukang cukur di kampung saya, yang katanya "Nda ada yang bisa beri perintah presiden, selain tukang cukur.", alasannya ketika pak presiden dicukur harus mematuhi arah kepala yang diinginkan tukang cukur agar proses pencukurannya berjalan lancar.
Andai dahulu tukang cukur sudah mengenal smartphone dan aplikasi edit foto Canva, saya yakin mereka akan membikin quotes-quotes bijak yang tidak kalah bijak dengan quotes istri-istri hebat
"Dibalik presiden yang gagah, ada tukang cukur hebat dibelakangnya."
Akan tetapi bagian inilah yang membuat saya tegang saat masih SD dahulu ketika dicukur pakai gunting, ada ketakutan disetiap pemenuhan arah kepala yang ditentukan tukang cukur, salah gerak sedikit saja, potongan rambut saya bisa berantakan, dalam hal ini masyarakat Bugis-Makassar biasa menyebutnya Tokka'. Jadi saya harus diam sesuai arah kepala yang disarankan tukang cukur.
Bagian Ketiga
Walau masih ada perapian dengan silet di pinggir rambut, akan tetapi hal tersebut sudah tidak termasuk dalam mencukur pakai gunting. Untuk itulah, bagian ini yang menjadi final process cukur mencukur saya dengan bapak tadi.
Ujung guntingnya menyusuri tepian rambut saya yang telah dipotong tipis, dengan hati-hati gunting tersebut terus berjalan sedikit demi sedikit. Mulai dari belakang, ke atas, sampai tepian atas telinga saya.
Pada waktu SD, bagian inilah yang paling tegang dan saya takuti, bisa dibayangkan ujung gunting yang runcing, ketika penyusuran tukang cukur telah sampai di tepian atas telinga, salah sedikit akan berakibat fatal jadinya. Telinga saya bisa menjadi korban.
Bukan hanya itu. Tak jarang , kulit yang disusuri ujung gunting juga sering "dicubit" olehnya. Maka tak heran ketika selesai mencukur rambut, kita akan bisa membuat slogan yang beda tipis seperti iklan le mineral yang katanya "Kayak ada manis-manisnya", bahwa ketika kita selesai mencukur rambut pakai gunting itu kita juga akan bisa berkata "Kayak ada pedis-pedisnya gitu.". Hahaa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H