Mohon tunggu...
Sahyul Pahmi
Sahyul Pahmi Mohon Tunggu... Penulis - Masih Belajar Menjadi Manusia

"Bukan siapa-siapa hanya seseorang yang ingin menjadi kenangan." Email: fahmisahyul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Maklumi Saja, Sistem Pendidikan Kita Sedang Mengalami Puber Kedua

10 April 2020   14:13 Diperbarui: 10 April 2020   14:12 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana keresahan calon pengantin yang harus menunda resepsi pernikahannya karena pandemi corona, sistem pendidikan kita pun ikut galau, khususnya guru dan murid yang terpaksa dialihkan proses belajar-mengajarnya ke sistem daring (online). Sebagaimana pula keresahan mendasar calon pengantin yang tidak bisa memajang foto-foto kebahagiaan resepsi di stori instagram, sistem pendidikan kita pun mengalami kegalauan yang mendasar, butuh kuota internet yang banyak untuk menjalankannya. Padahal problem akses jaringan di banyak walayah di Indonesia Timur belum rampung diselesaikan.

Memasuki minggu ketiga pengalihan proses pembelajaran ke sistem daring, mulai terlihat minusnya, siswa-siswa dijejali banyak tugas, dikirimi materi pelajaran yang bertumpuk-tumpuk, dan disaat yang sama uang jajan yang biasa dipakai untuk membeli kuota dan stalker akun medsos odo'-odo'nya, harus disisihkan lebih banyak ke akses pembelajaran online yang dibuat gurunya. Guru yang masih berstatus honorer merangkap jomblo pun begitu, gaji dari mengajar yang biasa diterima per/triwulan yang sering dipakai 60% (gaji sedikit, kuota mahal) membeli kuota untuk mengikuti live streaming channel youtube Nisa Sabyan, kini harus ditunda dulu dan disisihkan ke pembelajaran berbasis daring.

#Corona telah banyak merampas kebahagiaan kita, seperti dia, (haaa, dia??)

Akan tetapi, kata ustadz di kampung saya, setiap derita yang kita alami adalah penggugur dosa kita, bahkan sandal swallow yang putus pun termasuk di dalamnya.

Bisa jadi permasalahan yang dialami sistem pendidikan kita berbasis daring saat ini, adalah "keterpaksaan" yang akan dikandung abad ini dan melahirkan Renaisans di rahim sistem pendidikan kita. Agar opini saya tersebut tidak menggantung, #cukup gebetan yang menggantung status kalian, aku NGGAK!!. saya akan mengulasnya perspektif masa pubertas.

Kita telah mengetahui bersama bahwa peletakan batu pertama sistem pendidikan (nasional) kita, itu dimulai oleh Ki Hajar Dewantara yang pada 3 Juli 1922 mendirikan Perguruan Taman Siswa, dimana dari perguruan itulah lahir landasan baru sistem pendidikan nasional yang dirumuskan Ki Hajar Dewantara dalam orasinya pada kongres tahun 1934, juga lahir formulasi pendidikan nasional yang kita kenal hari ini, Ing Ngarso  sung  Tuladha,  Ing  Madya  Mangun  Karsa, dan Tut  Wuri  Handayani.

Sistem pendidikan saat itu, baru lahir, belum beranjak dewasa, belum baligh. Barulah pada tahun 1965-1998 yang ditandai masa Orde Baru sampai Reformasi, sistem pendidikan kita mengalami masa pubernya yang pertama. Hal tersebut ditandai dengan berkembangnya sarana dan prasarana pendidikan, mulai tumbuh kesadaran untuk bersekolah, perubahan cara berpikir orang yang bersekolah dan tidak bersekolah, inovasi pendidikan mulai muncul di sekitar area ibu kota setiap provinsi, perubahan administrasi pendidikan yang awalnya lebih simpel menjadi lebih kompleks, bertambah tingginya jumlah siswa yang mendaftar setiap tahun.

Puber pertama ini pula yang menyebabkan sistem pendidikan kita mulai naksir kepada industri kapital olehnya sistem pendidikan kita pada saat itu melirik kepentingan industri untuk dijadikan acuan kompetensi siswa-siswa yang dihasilkan, maka tak heran kalau saat itu, sistemnya satu arah, taat, dan hafalan. Sebagiamana dalam kritikan Romo Mangunwijaya terhadap sistem pendidikan Orde Baru yang mengatakan "Anak atau peserta didik hanya menjadi objek yang mengabdi pada kepentingan banyak pihak." (termasuk industri kapital).

Tidak sampai di situ, puber pertama sistem pendidikan juga telah mampu berpikir untuk mencari jati dirinya, namun tetap selalu ingin tampil menarik di hadapan industri agar industri mampu menjadi tambatan hatinya, hal itu pun telah dikritik oleh Prof. Daniel Rosyid dalam penggalan pertama bukunya yang berjudul  "Pendidikan Nasional di Era Reformasi Mau Kemana?", menurutnya "Peserta didik bukan lagi diarahkan orientasinya untuk menuntut ilmu demi kepentingan masa depan. Kepentingan peningkatan kualitas pribadi dan karakter dirinya. Namun, yang ada malahan proses standardisasi ujian dan sertifikasi sama halnya dengan yang berlaku di sistem industri."

Lalu bagaimana dengan puber kedua sistem pendidikan kita saat ini? Seperti pada puber pertama selalu ada gejala-gejala yang terjadi, namun hal tersebut lebih ditandai dengan gejala produksi ruang-ruang belajar offline mengalami penurunan, saya rasa masa ini akan berlangsung selama kebutuhan pendidikan akan sistemnya tetap menuntut adanya kemudahan sesuai tingkat kecanggihan tekonologi digital setiap masa.

Dan pada masa puber kedua ini, sistem pendidikan kita, telah mampu mendapat hati industri kapital, namun perasaan cinta kepada kemapanan timbul lagi, dan kembali ingin dilirik oleh jenis-jenis industri lain, makanya agar tampil lebih keren dan muncul secara limited edition di hadapan kapital, sistem pendidikan kita sebisa mungkin menyesuaikan diri dalam "keterpaksaan" pandemi covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun