Mohon tunggu...
Sahyul Pahmi
Sahyul Pahmi Mohon Tunggu... Penulis - Masih Belajar Menjadi Manusia

"Bukan siapa-siapa hanya seseorang yang ingin menjadi kenangan." Email: fahmisahyul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nggak Usah Sok-sok Mikirin Negara Kalau Pajak Motor Aja Masih Nunggak

27 Januari 2020   21:51 Diperbarui: 28 Januari 2020   21:40 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Suatu waktu, saya berkunjung ke rumah teman saya untuk mengerjakan sebuah proyek pengetikan dari dosen saya, akan tetapi sebelum kami mengerjakan proyek itu, kami ngobrol tentang banyak hal terlebih dahulu sembari menikmati segelas kopi panas dan sebatang rokok surya. Ayyehh.

Tema yang kami bicarakan pun beragam, mulai dari kerajaan-kerajaan jagad itu, sampai kepada tema receh tentang jam tidur saya ketika malam yang membuat kelopak mata saya seperti burung hantu. 

Atauu.. tentang banyaknya cewek zaman sekarang yang jual mahal kepada cowok (padahal bisa jadi wajah kami yang memang tidak memenuhi standar haha).

Terus dan terus, kami membicarakan banyak hal. Kebetulan teman saya itu mahasiswa jurusan hukum maka ia terus berbicara tentang kebobrokan negara ini.

Mulai dari sistemnya yang hanya berporos pada tingkat pusat dan jarang menyentuh tingkah pelosok, yang pada saat yang sama desa-desa di pelosok "dicuri" sumber dayanya untuk menghidupi perekonomian kota.

Saya yang hanya jurusan pendidikan Islam, hanya manggut-manggut saja tidak mengerti soal begituan, saya hanya memberikan dorongan bahwa "benar sekali katamu teman melalui mimik wajah yang meyakinkan".

Ia bercerita lagi bahwa mau dibawa ke mana negara ini, jika kita terus-terusan begini, hutan bertumpuk sekian banyaknya, sedangkan Rupiah melemah dan stag di situ-situ saja, beberapa badan usaha milik negara terbengkalai dan korupsi.

Di saat yang sama ada sekolah yang runtuh, ada warga negara yang tidak makan, ada anak kampung yang tidak bersekolah, ada jomblo yang nggak bisa dapat jodoh karena hobinya hanya rebahan, ada sarjana yang tidak kebagian lapangan kerja. Sinis teman saya.

Manggutan saya mendengar teman saya itu bercerita tentang negara, semakin meyakinkan dari manggutan saya sebelumnya, selain karena memang yang dikatakannya terasa benar tapi juga waktu itu sementara ia berbicara ia juga memesan gorengan melalui grab food. Hehe

Dan katanya lagi, alangkah mirisnya negara ini tokoh-tokoh politik kita bukannya perjuangin nasib rakyat jelata, malah ngeributin posisi-posisi untuk berkuasa, yang bagi teman saya itu, kedewasaan tokoh politik kita belum terlihat hari ini di mata rakyat.

Kali ini, mendengar pembicaraannya itu saya tidak manggut saja, tapi saya bertanya "Ah masa.. Ada tonji itu pasti tokoh politik berjuang untuk rakyat? liatmi kalo biasa kampenye dan nakasiki kalender, rata-rata kalendernya tertulis 'siap berjuang untuk rakyat.".

"Apatong mutaukkangi kau, tokoh politik itu kalo di kalender editan tapi kalo naikmi pencucian uang." jawabnya.

Saya terdiam, dan tak lama kemudian driver grab food telah datang dan membawa gorengan, obrolan kami seketika mencair seperti cairnya sambal gorengan yang kami nikmati.

Di sela-sela teman saya menikmati gorengan tersebut, ia menyalakan televisinya dan menonton berita, berita yang kami lihat memicu kembali teman saya untuk bercerita banyak tentang kekurangan-kekurangan negara. Di stasiun televisi tersebut diberitakan bahwa adanya banyak daerah yang dilanda banjir.

"Liatmi, adanya banjir sebenarnya karena ulah kita sendiri, dan negara tidak tuntas menyadarkan dan memberi kebijakan yang kuat kepada masyarakat untuk menjaga lingkungan." kata teman saya.

Semakin lama semakin saya terasa, betapa obrolan kami hanya nyinyiran yang ndak ada batang ujungnya, saya pun mencoba untuk mengalihkan pembicaraan tentang kondisi motor saya.

"Motorku itu bela.., gundul sekalimi bannya, baru maumi juga dipake untuk pigi meneliti nanti." keluhku kepada teman saya (saya saat ini juga sedang mempersiapkan proposal tesis).

"Aihh. Gantimi barua, nasiksa tonjiko itu nanti."

"Itumi bela, kupikir-pikir juga ini, baru nda adapi bayaran DP-nya dari proyek ketikan yang kita kerjakang."

Dengan mengalihkan pembicaraan, teman saya itu sedikit tenang dari banyaknya kerisauannya tentang negara yang tadinya ia lontarkan. Sampai suatu ketika, di antara penghabisan kami menikmati gorengan, teman saya seakan melanjutkan pembicaraan perihal motor.

"Itu juga e, motorku belumpi kubayar pajaknya, setahun yang lalu setelah saya mengganti platnya!"

Awalnya mendengar kata teman saya itu, yang belum membayar pajak motornya terkesan biasa saja, akan tetapi entah kenapa makin ke sini saya mulai kepikiran bahwa pajak motor saja belum dibayar, bagaimana mau mikirin negara. Kan?

Apa yang saya ceritakan di atas dengan teman saya, bisa jadi salah satu sampel dari banyaknya kalangan masyarakat dalam berbagai macam bentuk obrolan (offline dan online) yang passionnya ngegosipin negara namun lupa hal apa yang telah diabdikan untuk negaranya.

Jadi nggak usahlah sok-sok mikirin negara kalau pajak motor saja masih nunggak, mengutip beberapa bait puisi KH D Zawawi Imron dalam "Indonesia Tanah Sajadah".

... Kita minum air Indonesia menjadi darah kita
Kita makan buah-buahan dan beras Indonesia menjadi daging kita
Kita menghirup udara Indonesia menjadi napas kita
Satu saat nanti kalau kita mati
Kita akan tidur pulas dalam pelukan bumi Indonesia
Daging kita yang hancur  
Akan menyatu dengan harumnya bumi Indonesia .....

Dan bagi teman saya tadi dan membaca tulisan ini, besok sama-sama miki pigi bayarki pajak motorta' karena saya belumpa juga, hehe. Sesudah itu barumiki bisa mikirin negara lagi tomang.


Udah itu aja, Tetaplah tersenyum dan berbahagialah selalu MyLov~

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun