Puncak kebahagiaan seorang penulis adalah ketika tulisan-tulisannya dibukukan dan diterbitkan serta menjadi best seller. Namun seorang teman pernah bertanya.
"Sahyul aku juga seorang penulis."
"Wah bagus tuh, sudah berapa banyak tulisanmu kawan ?"
"Banyak sekali, andai dibukukan bisa berjilid-jilid !"
"Pasti novel" kataku.
"Bukan, catatan pinjamanmu di warungku." #wadduh, jangan buka kartu kawan.
Terlelas dari pinjaman itu, di tahun 2016 yang lalu saya mempunyai resolusi menerbitkan buku kumpulan puisi. Akan tetapi, resolusi itu baru bisa tercapai pada tahun ini, puisi-puisi di dalam buku itu adalah puisi-puisi yang pernah saya tulis selama mengarungi dunia Bloging Kompasiana (#eh, emangnya Kompasiana laut ?. Iya, lautnya para Bloger cantik dan gagah-gagah).
Tema puisi yang saya tulis pun beragam, mulai dari politik, ekonomi, anak-anak jalanan, penindasan sampai saat saya ditolak oleh cewek idaman saya karena resleting celana saya terbuka. Saya masih ingat penolakannya dulu.
"Kamu tahu kan cinta itu saling menutupi kekurangan," katanya.
"Iya, terus kenapa kamu menolakku."
"Tuh, lihat resleting celanamu masih terbuka," katanya.
"Terus apa hubungannya."
"Aku takut, resleting celanamu saja kau tak bisa tutup, apalagi kekuranganku."#baper lagi nih..
Yah,, begitulah cinta, terkadang hanya meninggalkan jejak pertemuan dan perpisahan (sok bijak, padahal nangisnya minta ampun di wc umum). Ah, sudahlah saya harus move on apalagi di tahun ini saya sudah menerbitkan buku kumpulan puisi yang saya beri judul "Nyanyian Ranting Kayu", semoga beberapa puisi-puisi cinta yang ada di dalamnya dapat membuat sesorang terpesona. Tapi, sesorang itu entah di mana, (#ngarepmu Mblo).
Adapun resolusi saya di tahun 2017 ini yaitu buku saya dibaca aktris favorit, tentu anda masih bertanya-tanya siapakah Aktris favoritku itu. Tunggu, saya akan beritahu (sambil membuat secangkir kopi) Aktris itu... (setelah menghabiskan secangkir kopi, keliling-keliling kompleks cari WiFi gratisan) adalah... (sudah dapat Wifi gratisan, ambil smartphone lalu Googling) tepat, namanya Shraddha Kapoor.
Sifat Kemanusiaan yang Besar
Kami Juga Punya Mimpi
Dari angkutan dan bus kota
Atau di bawah tiang lampu merah
Kami bernyanyi memaksa ceria
Karena denyut perut
Sering berbeda bunyinya
Jalanan, Kami anggap saja sebagai panggung konser
Tempat kami memetik senar gitar sesuka hati
Sorotan mata suka dan benci
Jadi lampunya
Ah biarlah, walau gelap kami tetap bernyanyi
Bukan soal koin dan selembar rupiah
Yang tergores dari tangan kasar kami
Tapi ini juga tentang ekspresi diri dan seni
Ekspresi diri untuk ikhlas
Seni untuk selalu bersyukur
Kepada sang MahaAdil
Nada sumbang dan compang-camping
Kami lagukan dalam gerak
Dengarlah
Ikutlah bernyanyi
Itu pesan dari kami
Karena kami juga punya mimpi
Shraddha Kapoor kan aktris Bolywood nih, yang sudah banyak sekali memerankan film, pasti duitnya banyak tuh, setidaknya ia tahu dari puisi saya bahwa anak-anak jalanan Indonesia masih banyak yang butuh uluran tangan serta pendidikan yang layak. Shraddha Kapoor kan bisa sumbangin berapa-berapa gitu ke anak jalanan tersebut (wah, kalau Shraddha Kapoor yang datang memberi sumbangan, saya juga mau deh jadi anak jalanan, hehe).
Penuh Cinta
Coba Dekatkan Dada Kita
Kesini, dekat padaku
Bawa dadamu di depanku
Dekatkan dada kita
Seperti kancing baju
Kita rasakan denyutnya
Ada segumpal daging di dalamnya
Segumpal daging itu
Aku punya
Kamu punya
Kita semua punya
Dan bentuknya sama
Hentikan otak bodoh kita berpikir
Hentikan tangan patah kita meraba
Hentikan kaki pincang kita melangkah
Sekarang, biar hati kita yang merasakan
Bahwa sebenarnya
Tak ada pembatas yang mengantarainya
Antara Aku, Kamu, dan Kita semua
Untuk saling bersaudara
Saling memberi rahmat
Kepada seluruh alam
Agama pun tak bisa
Jika kita dekatkan dada
Puisi di atas juga termuat dalam buku saya, oleh karena itu Shraddha Kapoor wajib baca. Agar ia mau datang mengademkan suasana dengan senyuman manisnya, (hati aku penuh kebencian juga nih Kak Shraddha Kapoor, tolong ademkan juga dong, tapi jangan di India, ademkannya di pelaminan. Hehe).
Sederhana
Sesederhana Segelas Kopi
Kau tahu, bubuk kopi dan gula
Di dapur kita
Adalah dua benda penyambung lidah ;
Penyambung kedekatan antara suami dan istrinya
Atau anak dengan ibunya
Merekatkan dua rasa yang saling besebrangan
Pahit dan manis menjadi kelezatan
Lezat memang
Jika keduanya dipertemukan
Ke dalam padang hati yang lapang
Sederhana kumenyebutnya
Segelas kopi dan aromanya
Laiknya pertanyaan dan jawaban
Yang selalu muncul dalam buku harian kehidupan
Hanya bersedia pada bahagia dan ujian
Jika pun ada selainnya
Hanya karya buah pikir semata
Yang selalu menambah rumitnya masalah
Padahal, yang sebenarnya
Hanya ada dua benda utama
Dalam segelas kopi
Bubuk kopi  dan sesendok gula itu sendiri
Semoga Shraddha Kapoor setelah membaca puisi di atas dapat menginspirasi banyak orang, saat ia konferensi PERS di sebuah film yang akan diperankannya dan berkata :
"Hidup itu bagaikan segelas kopi, ada gula dan kopi itu sendiri, nikmati manis dan pahitnya, dengan begitu hidup akan menjadi lebih indah."
Setelah Shraddha Kapoor selesai membaca buku maka ia akan menulis status dan mengaupload foto buku saya di medsosnya.
"Inilah buku kumpulan puisi yang menemani malam-malam sepi saya, mengurangi rasa penat saya, dan membantu saya menyuarakan rasa cinta saya kepada seorang kekasih. Semoga buku ini dapat diterjemahkan di berbagai negara, sebuah karya Sahyul Padarie, seorang Kompasianer asal Indonesia yang suka berimajinasi dengan kopi." statusnya pun mendapatkan Like 1 juta sekian dan komen pokoknya banyak deh, hehe... Itu resolusi saya di tahun 2017, kamu ?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H