Mohon tunggu...
Sahyul Pahmi
Sahyul Pahmi Mohon Tunggu... Penulis - Masih Belajar Menjadi Manusia

"Bukan siapa-siapa hanya seseorang yang ingin menjadi kenangan." Email: fahmisahyul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Puisi-puisiku Tumbuh di Kompasiana

24 Oktober 2016   14:21 Diperbarui: 24 Oktober 2016   14:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salam foto: Dokumen Pribadi

Sebenarnya saya baru tahu, bahwa Kompasiana sudah berumur 8 tahun, saya sangat ketinggalan, maklum kompasianer muda baru sekitar 2 tahun saya bergabung di Kompasiana, tepatnya pada 16 mei 2015-sekarang, itu pun sekali-kali memposting, tak apalah yang karena Kompasiana saya bahagia.

Yang melatar belakangi saya bergabung dengan Kompasiana adalah ketika cita-cita saya tak bisa terwujud. Cita-cita kuliah di jurusan jurnalistik, penyebabnya karena beberapa hal dan lain hal, saat itulah saya ke warnet awalnya hanya ingin main FB. tetapi, ketertarikan saya pada dunia jurnalis masih membara, saya pun googling mencari cara mengirim berita di surat kabar Kompas, tahu-tahunya yang saya temukan adalah Kompasiana, setelah saya masuk di situs itu langsung saya mendaftar, saya belum tahu seluk beluk Kompasiana, iseng-iseng daftar aja.

Tulisan pertama saya adalah puisi yang berjudul Kulit Lembut Sang Adik, dan Puisi pertama saya yang menjadi pilihan adalah Rupiah Melemah Engkau Tak Menyerah. Jujur saja, saya lebih mendalami penulisan puisi ketika telah mendapatkan gelar kompasianer, sebelum-sebelumnya tidak pernah hanya imajinasi di kepala belum tertuang kedalam tulisan. Pada saat itu juga saya bercita-cita menerbitkan buku kumpulan puisi yang pernah saya publikasikan di Kompasiana, untuk saya koleksi di rumah dan agar generasi berikutnya mengetahui jejak hidup saya. Namun, sampai sekarang belum mencapai target 200 puisi masih ingin terus menulis.

akun saya foto: dokumen pribadi
akun saya foto: dokumen pribadi

Ada banyak suka duka yang saya alami sepanjang perjalanan menjadi kompasianer, saya tergolong kompasianer miskin untuk memposting saya harus berjalan dari kos ke warnet. Maklum, masih kuliah dan belum punya laptop, untuk mensiasati tenggang waktu yang saya harus bayar di warnet, saya menggunakan Hp terlebih dahulu untuk menulis, namun bukan Hp anroid masih Hp yang bersistem operasi java, saya buat group di FB yang di dalamnya saya tulis puisi untuk saya posting di Kompasiana, group itu hanya beranggotak 2 akun FB saya dan tertutup, jadi sesampainya di warnet saya tinggal copy paste dari group itu ke dasbor tulis Kompasiana lalu mempostingnya. Karena itu, saya jarang balas komentar teman-teman kompasianer, maaf ya.. Please.

Sukanya ketika saya menulis di Kompasiana adalah saat saya berjalan ke warnet, ada banyak insipirasi untuk saya tulis menjadi puisi di Kompasiana, seperti tentang kehidupan pengamen, pengemis dan anak jalanan. Seakan saya memberi sesuap nasi untuk mereka ketika hidupnya kujadikan puisi, dan seakan saya membawa mereka keliling dunia ketika puisi tentang hidup mereka di baca serta dishare kemana-mana, mereka tak tahu saya, tetapi puisi akan selalu berbicara, saat itulah saya merasa bahagia karena Kompasiana.

inilah warnet langganan saya foto: Dokumen pribadi
inilah warnet langganan saya foto: Dokumen pribadi
Jujur, saya bahagia bukan ketika tulisan saya mendapat ganjaran headline dan highline atau mendapatkan nilai serta komentar. Tetapi, ketika puisi saya banyak yang membacanya, sebagaimana ungkapan Sayyid Qutub

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu tulisan dapat menembus berjuta-juta kepala,"

Hanya itu tujuan utama saya, untuk menembuskan kebaikan di kepala orang-orang dengan tulisan.

Tulisan yang saya maksud adalah puisi. Dan selama saya menjadi kompasianer puisi-puisi yang saya tulis di Kompasiana itu tumbuh dan berkembang, contohnya: pada awal-awal bergabung di Kompasiana, puisi saya belum banyak yang menjadi pilihan apalagi highline. Tetapi, lama ke lamaan saya terus menulis, akhirnya yang menjadi pilihan lebih banyak daripada yang tidak, dan sudah ada juga yang highline, karena Kompasiana-lah yang menilai puisiku bagus atau tidak serta pembaca yang budiman, kalau saya yang menilainya tentu tak bisa, saya menulis puisi bebas, apa yang ada di pikiran dan hati saya, yang saya rasa itu bermanfaat untuk ditulis menjadi puisi, bisa dibilang Kompasiana adalah Ibu dari puisiku, karena dari Kompasiana ini puisi saya terlahir.

Menurut saya, menulis di Kompasiana ada candunya seperti yang saya alami, saya tidak bisa tertidur tanpa menulis puisi minimal 1 puisi selepas isya, untuk saya posting nantinya di Kompasiana, entah kenapa tapi itulah adanya saya sudah kecanduan, candu aksara Kompasiana dan memang, waktu luang yang saya punya cukup banyak, saya seorang Mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) di salah satu perguruan tinggi Islam yang ada di Makassar. Jadwal kuliah saya hanya hari sabtu-minggu, jadi senin-jumat kebanyakan kugunakan untuk "menggauli" Kompasiana dengan puisi.

Saya merasa tak ingin menyianyiakan gelar sebagai seorang kompasianer, tak banyak yang dapat menyandang gelar itu, Professor pun tak bisa (harus punya akun dulu). Maka dari itu saya selalu bersmangat untuk nge-Kompasiana, walau tulisan saya belum banyak saya berusaha untuk tetap konsisten, apalagi ada banyak penulis-penulis hebat yang hidup di Kompasiana dari tulisan-tulisan mereka saya dapat banyak belajar sekaligus berteman sebagaimana tagline Kompasiana "Terhubung dan Berbagi".

Namun, pernah suatu waktu saya mengalami stress berat, karena warnet yang biasa saya tempati untuk nge-Kompasiana tutup selama 2 minggu. Komputer-komputernya rusak, pada saat itu puisi-puisi yang saya tulis meronta-ronta ingin terbang bebas dari sarangnya, ingin cepat-cepat di posting di Kompasiana.

Momen yang paling berkesan selama saya nge-Kompasiana adalah ketika puisi berjudul Seorang Perokok Awam yang berhasil menjadi highline, puisi itu mengkritik wacana kenaikkan harga rokok menjadi 50 ribu, puisi itu hasil dari keluh-kesah para nelayan yang asa di kampung saya, dari puisi itu saya merasa sangat gembira, karena perasaan para nelayan telah terwakilkan ke dalam puisi itu, seakan saya naik di perahu mereka, menggelegarkan puisi itu di tengah lautan, lalu diterbangkan badai menuju ke gedung-gedung pemerintah.

Walau saya merasa belum bisa menyandang gelar sebagai seorang penyair. Akan tetapi, saya tetap mematuhi sumpah penyair sebagaimana dalam puisi Gus Candra Malik

SUMPAH PENYAIR

Karena sajak
Kami bergerak
Bersamamu syair
Kami berzikir
Padamu puisi
Kami mengabdi
Padamu sastra
Kami berkarya

Candra Malik, Kediri, 22 Oktober 2016

Tentu, bersama Kompasiana saya mengaktualisasikan sumpah itu.

TERIMA KASIHKU KOMPASIANA

Kuhaturkan salam untukmu
Salam yang kuambil
Dari pertambangan
Jauh dari dalam tanah
Salam yang tak bisa dibeli
Dan bukan untuk dijual
Hanya untukmu Kompasiana
Salam itu terima kasihku
Harapan-harapanku
Dan doa-doaku
Untuk kejayaanmu

Salam hangat pake senyum manis, teruntuk kang Pepih Nugraha, dan para admin Kompasiana serta seluruh jajarannya sampai tukang sapunya yang tak bisa kusebutkan namanya satu per satu (Selamat Ulang Tahun Kompasiana yang ke-8).

Salam foto: Dokumen Pribadi
Salam foto: Dokumen Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun