Sebelum cahaya pagi menerangi dunia ini
engkau pergi
dengan segelas kopi hitam yang kubuat sendiri
dan engkau tinggalkan
bekas ciuman di kening anakmu
yang masih tertudir pulas
sekilas, engkau sepeti pelangi, suamiku
yang datang ketik hujan
dan pergi ketika keindahan masih merindukan hadirmu
menjual krupuk keliling
itulah pilihanmu
menafkahiku dan anak kita
kutak peduli itu
karena senyum yang tak pernah pudar di wajahmu
menafkahi batinku, suamiku
gema adzan maghrib memanggil
engkau pulang
dengan kain basah melilit lehermu
nampak, keringatmu masih jelas di kain itu
"yang penting halal"
sambutmu ketika aku bersedih melihatmu
selang beberapa lama
engkau pergi lagi
dengan langkah yang lain
menjadi tukang ojek
depan lampu merah
samping rumah sakit
belakang pos polisi
bunyi detak jarum jam dinding
dihitung anak kita
"sebentar lagi Ayah pulang kan bu"
kata anak kita merobek kantung air mataku
"iya nak, Ayah pasti pulang"
jawabku mencoba merajut gelisah anak kita
sampai mata anak kita terpejam
barulah engkau datang, suamiku
seperti biasa, ketika engkau
datang
tanganmu gemetar
telingamu berdengung
bibirmu senyap
kumohon istirahatlah suamiku
janganlah engkau menyiksa dirimu
sampai air matamu dan biji keringatmu tak kukenal lagi sekarang
"hahaha..., Istriku ingatlah kemudahan datang beriringan dengan kesulitan, bagai siang dan malam"
cetusmu menyentuh bibirku
"Tapi...,"
"berhentilah, ambilkan aku cepat segelas kopi hitam"
di malam yang hening kita tenggelam dalam aroma kopi yang kuat, suamiku
sekuat dirimu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H