Hei, debu-debu
maaf kan aku menerbangkanmu
kedalam bejana emas
karena aku ini angin
aku lebih suka berada di bumi
daripada di langit
"angin, angin", tanyamu
ya benar, jawabku
yang selalu menampar
wajah manusia yang menginjakmu
ku tak tak tega melihatmu
dihanguskan terik matahari
aku ingin ikut merasakan butir-butirmu
warna coklatmu yang khas
dan tentang perasaanmu
ketika bayi kecil tertawa ria
di depan halaman rumah kakeknya
debu-debu lain penasaran tentang wujud aslinya
ku jawab mereka
"kau adalah manusia tabah, manusia syukur, manusia kuat"
mereka masih tak percaya
"kenapa engkau bilang begitu. padahal, ulat leher kami selalu ketakutan"
tanya mereka bersamaan
kubalas senyum harum
debu-debu itu semakin geram
"kenapa engkau malah tersenyum, apakah pertanyaan kami itu lucu"
tidak, bukankah kalian yang mengajariku menghembuskan senyuman kepada ombak di lautan
mereka terdiam...
"bisakah satu kali lagi kami bertanya padamu"
"apakah kau adalah penyair"
bukan, aku adalah angin
yang lahir dari pucuk padi
"terima kasih" simpuh mereka di hadapanku
aku yang seharusnya berterima kasih
simpuhku di depan kaki mereka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H