Indonesia memiliki kesempatan untuk menjalankan program ekonomi hijau secara lebih fokus dan terarah dalam berbagai program yang secara daya dukung ekonomi sangat mungkin dijalankan pada saat sekarang. Kondisi itu tidak lepas dari situasi ekonomi yang relatif stabil sepanjang dua tahun terakhir. Stabilitas dan kuatnya daya dukung ekonomi itu terlihat dari pertumbuhan rata-rata 5 persen yang secara beruntun dicapai dalam 7 kuartal secara berturut-turut, dimana  pada kuartal II-2023  angkanya tercatat sebesar 5,17%, ditambah dengan keberhasilan menjaga inflasi dalam rentang target yang ditetapkan yakni di angka 3,17% pada Agustus 2023.
Kesempatan untuk lebih memberi fokus kepada ekonomi hijau dan terbarukan sekaligus berkelanjuta itu juga menjadi salah satu pandangan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto saat berbicara dalam salah satu acara media di Jakarta. "Fundamental yang baik ini menjadi modal bagi Indonesia untuk mendorong ekonomi hijau sebagai sumber baru pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di masa depan," kata Menko  Airlangga Hartarto.
Â
Langkah ke arah itu sendiri sudah ditetapkan sejak beberapa tahun lalu, menyusul kesepakatan negara-negara sebagaimana yang tertuang dalam Protokol Kyoto dimana negara penandatangan secara sukarela menerapkan aturan pengurangan emisi karbon di negara masing-masing. Seperti diketahui Protokol Kyoto, adalah sebuah traktat internasional tahun 1999 yang memperpanjang Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB untuk mengurangkan emisi gas rumah kaca. Ia berdasarkan konsensus ilmiah yang menyatakan bahwa pemanasan global disebabkan oleh emisi CO pada atmosfer Bumi. Â Persetujuan Paris, yang dibuat pada Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015, adalah penerus Protokol Kyoto karena ia telah melewati tanggal kedaluwarsanya pada tahun 2020.
Dalam realisasinya, Indonesia membuat komitmen sendiri dalam peningkatan upaya peningkatan target penurunan emisi sebagai bagian dari  prakarsa NDC (Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar  29% menjadi 31,89% dengan usaha sendiri, atau turun ke angka  41% ke posisi  43,20% dengan bantuan internasional pada 2030.  Upaya perluasan ini juga berdampingan dengan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 serta visi untuk mencapai net zero emissions pada tahun 2060.
Namun komitmen dan kesepakatan tersebut tidak akan bisa berjalan sesuai rencana tanpa ada kolaborasi erat antar pemangku kepentingan, utamanya dalam mengatasi salah satu barriernya yakni masalah pendanaan serta teknologi yang digunakan. Di sini, pemerintah telah berjalan dengan upaya memperkuat kerjasama dengan pihak swasta utamanya dalam hal  pembiayaan secara kreatif maupun pencarian bagi solusi yang ada antara lain dalam bentuk Sovereign Wealth Fund - INA, Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), dan SDG Indonesia One untuk meraih dan membuka proyek-proyek investasi, terutama di sektor energi, pertanian, transportasi, dan lingkungan hidup.
Adapun pendanaan dari  dana pemerintah melalui APBN diwujudkan dengan memberi prioritas pada proyek-proyek dengan konsentrasi pada perubahan iklim dan ramah lingkungan. Tak cuma dalam penyiapan, untuk eektiitasnya, diterapkan juga  Climate Budget Tagging di tingkat nasional dan daerah yang mampu melacak alokasi anggaran perubahan iklim, serta menyajikan data kegiatan dan hasilnya.
Adapun untuk pajak karbon, ketetapan pemerintah dalam hal ini berbentuk penerapan harga perdagangan karbon dan pajaknya juga telah dibuat melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon. "Tadi pagi Presiden Joko Widodo meluncurkan Bursa Karbon Indonesia yang diawasi oleh OJK melalui Bursa Efek Indonesia dan ini merupakan terobosan bagi bursa karbon yang sifatnya voluntarily," tutur Menko Airlangga.
Sementara untuk mendorong lebih banyak perusahaan dan invididu untuk terjun ke bisnis ini, sejumlah beainsentif juga telah diberikan guna percepatan sektor Energi Baru Terbarukan dan ramah lingkungan ini. Bentuknya mulai dari Peraturan Pajak Penjualan Barang Mewah Kendaraan Listrik untuk mendongkrak permintaan kendaraan listrik, Â atau Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (BEV) Untuk Transportasi Jalan untuk memperkuat insentif fiskal dan non-fiskal, serta program mandatori B35 yang bermanfat untuk menghemat, menjaga stabilitas harga komoditas sawit, meningkatkan nilai tambah, sekaligus mengurangi emisi karbon.
Tidak hanya di level nasional, Indonesia mendorong secara regional dimana pada Kepemimpinan Indonesia untuk ASEAN 2023 telah menyepakati untuk membangun Ekosistem Kendaraan Listrik dan juga mengembangkan ASEAN Carbon Neutrality. "Semua dengan tujuan  besar yakni pembangunan ekonomi hijau dalam lingkup dekabonisasi untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi berkelanjutan " pungkas Menko Airlangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H