politik, perbedaan pendapat dan adu strategi dalam memenangkan cita-cita serta program yang hendak dilaksanakan adalah sesuatu yang niscaya. Begitu pula dengan Partai Golkar yang telah lama berkiprah dalam panggung politik Indonesia.Â
DalamNamun, beberapa peristiwa terbaru menunjukkan adanya perbedaan pandangan dalam mencapai tujuan yang sama, terutama mengenai pencapresan Airlangga Hartarto untuk Pemilu 2024.Â
Usulan Luhut Binsar Panjaitan  (LBP) sebagai Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar yang menyarankan agar Airlangga tidak memaksakan diri sebagai calon presiden menimbulkan tanda tanya besar. Usulan ini tidak hanya berpotensi melanggar Keputusan Munas Partai Golkar, tetapi juga mengabaikan rekomendasi Dewan Pakar yang justru mendukung pencapresan Airlangga.Â
Di sisi lain, penyataan Ridwan Hisjam yang siap menjadi panglima pemenangan dalam kampanye mendukung Airlangga memperkuat keinginan untuk melanjutkan rencana pencapresan ini.
Saran LBP kepada Airlangga Hartarto agar membenahi pekerjaan lain jika tidak bisa mencalonkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden, seakan-akan meremehkan niat dan kemampuan Airlangga dalam  mengelola organisasi  berlambang pohon beringin ini.Â
Keputusan Munas 2019 dan rekomendasi Dewan Pakar menetapkan Airlangga sebagai calon presiden Partai Golkar untuk Pemilu 2024. Apakah saran Luhut yang juga yang juga Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi artinya  mempertanyakan keputusan partainya sendiri?Â
Apakah pandangan pria yang akrab disapa opung itu  sebagai seorang penasehat politik lebih berarti daripada hasil rapat pleno dan keputusan tingkat nasional yang sudah diputuskan oleh partai?Â
Kita harus ingat bahwa Partai Golkar adalah partai politik yang mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Oleh karena itu, pandangan Luhut yang mengarah pada opsi lain di luar keputusan partai bisa dipertanyakan sebagai ketidakkonsistenan terhadap semangat musyawarah dalam internal partai itu sendiri.
Apalagi LBP juga  menyebut bahwa memaksakan Airlangga sebagai capres atau cawapres dapat merugikan Partai Golkar. Ia bahkan menyiratkan pesimisme terhadap perolehan kursi Partai Golkar pada Pemilu 2024.Â
Sebagai kader senior partai, Luhut harusnya mempunyai keyakinan dan semangat dalam mendukung partainya. Pesimisme yang diungkapkan malah berpotensi mempengaruhi mood dan semangat para kader Partai Golkar.Â
Apakah pernyataan seperti ini merupakan upaya untuk menggeser fokus perhatian agar tidak terlalu terfokus pada pencapresan Airlangga? Apakah ada pertimbangan lain di balik pernyataan tersebut yang ingin dikomunikasikan kepada publik?
Pernyataan Luhut ini juga kian membuat bingung  saat kita membandingkannya dengan rekomendasi Dewan Pakar Partai Golkar yang sebelumnya merekomendasikan Airlangga Hartarto untuk segera mendeklarasikan diri sebagai bakal calon presiden 2024.Â
Rekomendasi ini jelas menunjukkan bahwa ada dorongan dan dukungan kuat dari tingkat tinggi partai untuk melanjutkan pencapresan Airlangga. Mengapa ada perbedaan pandangan yang begitu kontras dalam internal partai? Apakah ada pergeseran dinamika politik yang belum terungkap di permukaan?
Dewan Pakar bahkan merekomendasikan Airlangga membentuk poros baru agar memudahkan mendapatkan tiket di Pilpres 2024. Ini menunjukkan bahwa Partai Golkar telah menyusun strategi khusus untuk mengamankan posisi Airlangga sebagai calon presiden.Â
Jadi, apakah pandangan Luhut tentang merugikan partai menjadi lebih masuk akal? Ataukah ada pertentangan di antara faksi-faksi di dalam partai yang ingin menempatkan figur yang berbeda sebagai calon presiden?
Terkait hal ini, penyataan Ridwan Hisjam, anggota Dewan Pakar Partai Golkar, menjadi sangat menarik. Ridwan Hisjam dengan tegas menyatakan siap menjadi panglima pemenangan jika Airlangga maju sebagai calon presiden. Ia menyatakan kecintaannya kepada Partai Golkar dan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum. Ini menunjukkan adanya kesatuan dan kesetiaan dari seorang kader partai yang berkomitmen untuk membantu mencapai kemenangan dalam Pemilu 2024. Pandangan Ridwan Hisjam ini menguatkan dan memperkuat niatan untuk terus melanjutkan pencapresan Airlangga.
Akhirnya, Â sejatinya perbedaan pandangan dalam partai politik adalah hal yang wajar, bahkan pernah terjadi di partai-partai lainnya. Akan tetapi, penting bagi Partai Golkar untuk menjaga semangat musyawarah dan mencari mufakat di dalamnya.Â
Keputusan Munas Partai Golkar pada 2019 telah menetapkan Airlangga Hartarto sebagai calon presiden 2024, dan harus dipertahankan keputusan tersebut untuk menjaga konsistensi dan stabilitas partai.Â
Sementara itu, tugas para penasehat politik dan pakar media adalah untuk mendukung keputusan partai dan membangun narasi yang solid guna memenangkan pencapresan Airlangga di Pemilu mendatang.Â
Semoga partai dapat bergerak bersama sebagai kesatuan yang solid dan menghadirkan pemimpin yang terbaik bagi bangsa ini. Semoga kita semua dapat menyaksikan sebuah proses demokrasi yang sehat dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas untuk Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H