Uni Eropa (EUDR/European Union Deforestation Regulation) akan jadi  tantangan sekaigus menyulitkan bagi para petani mandiri kelapa sawit  Indonesia. Â
Sejak awal pemerintah telah menyadari bahwa implementasi Undang-Undang Anti DeforestasiHal itu tak lain karena uji tuntas terhadap berbagai produk kelapa sawit , sapi, kayu, kopi, kakao, karet dan produk turunanya potensial membatasi kebebasan produk RI di pasar ekspor.Â
Persoalannya jadi tambah kompleks karena dari waktu ketetapan keluar dan penerapannya hanya berjarak 18 bulan. Sehingga jika itu tak terpenuhi nilai perjanjian dagang dengan Uni Eropa yang telah disepakati dan berjumlah Rp90 triliun akan terganggu.
Ketergangguan itu antara lain disebabkan karena dalam kurun waktu 18 bulan tersisa seluruh komoditas terkait  harus melakukan verifikasi due diligence dan harus melakukan geotagging, penambahan informasi posisi data pada GPS berupa informasi latitude dan longitude dalam sebuah foto digital dan itu mustahil bisa dilakukan oleh para petani mandiri. Maka wajar kemudian jika pemerintah Indonesia bersuara keras dengan menyebut bahwa aturan tersebut  diskriminatif dan punitif (cenderung pada penerapan sanksi). Â
Protes tersebut antara lain karena  regulasi EUDR itu dianggap  tak memiliki transparansi. Apalagi  penolakan Uni Eropa terhadap standar sertifikasi Indonesia tak memiliki  kejelasan khususnya terkait FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance, and Trade) dan SVLK (Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu). Padahal Indonesia telah mengadopsi dan melaksanakan standar dan sertifikasi hutan yang sah tersebut.Â
Aturan tersebut hanya menguntungkan perusahaan besar karena telah terintegrasi, namun tidak bagi 15 juta petani mandiri Indonesia karena ongkosnya yang tidak murah, sehingga pemerintah secara tegas menyatakan tak akan tinggal diam dan bergerak memprotes saat regulasi tersebut  hendak diimplementasikan.
Selain itu Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang mendapat mandat langsung dari presiden Joko Widodo dalam menghadapi pihak-pihak terkait di Uni Eropa  perlu membuat langkah lanjutan setelah bersama wakil Malaysia menggelar pertemuan dan lobby dengan pihak Uni Eropa di Brussels, Belgia beberapa waktu lalu.
Beberapa langkah yang bisa diambil Airlangga Hartarto sejak dari saat ini adalah terus mendorong dan bernegosiasi dengan Uni Eropa untuk mengakui sertifikasi dan standar Indonesia, seperti FLEGT dan SVLK, sebagai alternatif yang setara dengan persyaratan EUDR. Ini akan membantu mengurangi beban biaya dan waktu verifikasi yang diperlukan oleh produsen kelapa sawit dalam negeri.
Mendorong diversifikasi produk kelapa sawit dan diversifikasi pasar ekspor untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar Uni Eropa. Upaya ini dapat melibatkan promosi produk kelapa sawit yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan kepada pasar alternatif di negara-negara lain.
Membentuk tim pelobi serta meluncurkan kampanye komunikasi yang efektif untuk menyampaikan pesan mengenai keberlanjutan dan manfaat ekonomi yang dihasilkan oleh industri kelapa sawit Indonesia. Tujuannya adalah untuk mengubah persepsi negatif di Uni Eropa dan mempromosikan keberlanjutan serta kontribusi positif industri kelapa sawit bagi perekonomian Indonesia
Pemerintah juga  harus lebih mendorong penelitian dan inovasi dalam industri kelapa sawit untuk terus meningkatkan keberlanjutan, efisiensi, dan diversifikasi produk. Investasi dalam teknologi yang lebih ramah lingkungan dan pengembangan produk baru dari kelapa sawit dapat membantu meningkatkan daya saing industri di pasar global.